damaiduniaku

kedamaian akan menunjukkan dirinya pada dunia..... Sambut dan berdamailah dengannya....

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, Jakarta, Indonesia

Seorang Anak Manusia yang mencari jati dirinya...

Jumat, 27 November 2009

“SCIENCE AND HUMAN CONSCIENCE” (Melihat Hubungan Sains* dan Kesadaran Manusia)

“SCIENCE AND HUMAN CONSCIENCE”
(Melihat Hubungan Sains* dan Kesadaran Manusia)

By: Abduh Muhammad


Pendahuluan
    Sains adalah bagian terpenting dari perjalanan panjang peradaban manusia. Sains merupakan hasil pikiran manusia yang muncul dari sebuah kesadaran manusia tentang segala sesuatu. Dari zaman ke zaman, dalam kehidupannya, manusia selalu berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan kesadaran dan berbagai masalah yang dihadapinya, ilmu pengetahuan manusia akan semakin berkembang dan kompleks. Sains berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap diri manusia sebagai alam kecil (mikrokosmos) dan kesadaran terhadap alam raya diluar dirinya (makrokosmos).
    Disini kesadaran manusia menjadi kata kunci akan keberadaaan sains. Akan tetapi “kesadaran” ini menjadi sebuah misteri dalam sains itu sendiri. Betapa tidak, sejak dahulu para ilmuwan maupun filsuf bahkan kalangan agamawan, berusaha untuk merumuskan apa dan bagaimana sebenarnya kesadaran itu bekerja dalam diri manusia. Bahkan kalau kita menilik sejarah panjang filsfat, pembahasan tentang topik ‘kesadaran” ini belum mencapai titik final. Dan mungkin itulah sifat sains sendiri, selalu berkembang dan perbincangannya terus bergulir hingga sekarang.
    Kemudian, agama dalam ranah metafisik dan juga spiritual, juga mencoba untuk berbicara tentang konsep kesadaran akan ilmu pengetahuan. Bagaimana seorang saintis mendasarkan penelitiannya pada asumsi-asumsi metafisik, atau bahkan spiritual dalam agamamnya. Misalnya banyak filsuf muslim yang merumuskan akan kesadaran diri, kesadaran terhadap alam dan yang pasti kesadaran terhadap Tuhannya.
    Bahkan fenomena sains modern, mencoba melihat “kesadaran” pada tataran pengujian empiris terhadap mekanisme kerja otak dalam diri manusia. Sejak pertengahan tahun 1800, para ilmuwan telah menemukan cara-cara untuk memindai aktifitas otak, dan dihubungkan dengan ciri-ciri yang diyakini sangat berhubungan dengan kesadaran manusia, seperti kehendak bebas dan tanggapan terhadap rangsangan. Percobaan-percobaan menunjukkan bahwa; otak membutuhkan setengah detik untuk membuat kita sadar akan rangsangan dari luar. Hasilnya adalah suatu akal budi sadar dengan  model realitas yang memperkenankan kita berbuat lebih daripada sekedar bereaksi terhadap rangsangan atau menuruti naluri tak sadar kita, dan pada akhirnya menjadikan manusia makhluk yang canggih.
    Karena berbagai konteks pemahaman inilah, pemakalah berusaha melihat lebih jauh hubungan antara kesadaran manusia dengan sains. Kemudian yang menjadi pertanyaan utama dalam kasus ini adalah bagaimana sebenarnya hubungan kesadaran manusia dengan sains? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan mencoba memberikan gambaran tentang beberapa paradigma yang melihat hubungan keduanya. Disini saya akan membatasi pembahasan pada tiga cara pandang, dimana dalam makalah ini akan melihat pandangan Filosofis, Pandangan dunia agama dan metafisik dan tentunya pandangan sainstis itu sendiri. Sehingga paling tidak kita mempunyai paradigma holistik dalam melihat relasi antara sains dan kesadaran  manusia, tidak hanya dalam tataran fisik, tetapi juga dalam pandangan filosofis dan metafisik.



A. Pandangan Filosofis Kesadaran Manusia dalam Ilmu Pengetahuan.

    Ketika objektifitas akan sebuah keberadaan ditekankan, masalah yang selalu muncul adalah bagaimana kita sebagai manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang realitas tersebut. Kita akan selalu dihadapkan pada pertanyaan bagaimana kita mengetahui sebuah realitas itu sebagaimana adanya? Dalam sejarah perjalanan filsafat, ini mungkin menjadi perdebatan dua aliran besar dalam filsafat, antara idealisme dan realisme.
    Idelais melihat keutamaan pikiran (ide), dimana menurut idealis, manusia dapat secara mudah mendapatkan pengetahuan tentang realitas sebagai hasil dari refleksi pemikirannya. Menurutnya, realitas diterima diatas gambaran kita, sebagaimana yang dimaksudkan Kant dengan noumena nya. Itu adalah sebuah keberadaan yang eksis dan nyata, tetapi kita tidak akan pernah menerima itu sebagaimana adanya secara mutlak sebagai materi. Bagi mereka, bentuk konseptual idealisme dapat diterima menurut bagaimana diskripsi kita terhadap dunia adalah involving pemikiran sebagai sebuah keharusan.1
    Realisme akan melihat pengetahuan scara pasti bahwa sesuatu itu kita ketahui sebagaimana adanya. Karena pikiran manusia dan pengetahuan telah diproduksi dengan proses pemikiran, dimana hal tersebut diterima oleh indra, dan hasil dari semua itu adalah pemikiran manusia dan hanya bisa dipahami melalui proses mental (pikiran manusia). Atau dengan kata lain, pengetahuan itu punya keberadaan yang independen. Kereka tak tergantung pada pikiran dalam beberapa logika indrawi, sebagaimana idealis maksudkan.
    Bagi kalangan idealis, dalam melihat hubungan keduanya dimana menurut mereka “tidak ada pemisahan yang jelas antara realitas dan pemikiran manusia, karena hanya ada kemungkinan untuk bersinggungan dengan dunia nyata.  Keberadaan dunia, adalah apa yang kita dapat melalui kesadaran (konsepsi) kita tentang itu semua. Sehingga bagi kita “dunia” adalah sebuah kepastian, dunia sebagaimana kita terima apa adanya.2
    Dari kedua aliran ini, dapat kita lihat adanya relasi kuat antara kesadaran dengan ilmu (sains) yang dihasilkan mansia. Dimana kekuatan idealisme, adalah siap menjawab pertanyaan tentang bagaimana kita dapat memaknai dunia? karena dunia yang kita gambarkan adalah dunia kita, di dasarkan pada konsep kita, dimana di situ ada peran indra yang menciptakan gambaran tentang realitas tersebut. Disisi lain, realisme mempunyai problem ketika harus berhadapan dengan signifikansi dari alam, dimana sama saja dengan tidak ada alasan mengapa kita harus menolak kemampuan untuk memahami semuanya dalam mekanisme didalamnya, bahkan itu berarti kita tidak akan mengetahui sesuatu Dan ini menjadi permasalahan dalam sains manusia.
     Untuk itu disini, saya melihat bahwa idealisme lebih mampu melihat kesadaran manusia sebagai bagian tak terpisahkan dalam sains manusia, dimana dengan kesadaran terhadap sebuah realitas sekitar(alam), manusia berpikir dan merespon dengan analisa dan pemikiran (konsepsi) sehingga menghasilkan sebuah teori maupun sains aplikatif (teknologi) sehingga berguna bagi keberlangsungan kehidupannya.  Dengan kesadaran yang mendalam manusia terhadap segala realitas membuatnya menjadi makhluk yang super canggih dengan perkembangan sains yang luar biasa.

B. Kesadaran Metafisis dan Agama dalam Sains

    Sains empiris sering diawali dengan penelitian dan observasi. Tetapi, dalam seleksi penelitian dan oservasi mereka, “perkiraan” para saintis sangat penting.  Jika sains didasarkan pada sebuah observasi sederhana, maka sains akan bebas dari elemen-elemen metafisis. Tetapi, generalisasi dari pengalaman terbatas dan sederhana menuju pendapat umum selalu mengambil tempat di dalam kerangka metafisik baik secara eksplisit maupun implisit. Sebagai contoh utama misalnya, ilmu Kosmologi. Salah satu bentuk kesulitan ilmu ini adalah penelitian yang dilakukan terhadap alam semesta dari sudut tertentu, sementara ilmu pengetahuan kita tentang benda-benda angkasa diperoleh secara tidak langsung. Jadi kita diarahkan untuk memperluas area fisik kita dan perluasan ini mempergunakan berbagai asumsi yang tidak serta merta dapat diverifikasi,.
    Pada dasarnya, banyak teori-teori ilmiah disusun berdasarkan pengaruh pandangan metafisik para saintis terhadap realitas fisik alam semesta, dan seringkali juga didasarkan atas pengaruh pandangan filosofis atau agama para ilmuwan. Bahkan banyak agama yang menawarkan ide-ide dalam kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan. Dan disini dapat dikatakan bahwa, “perkiraan metafisis” dalam ilmu pengetahuan seringkali didasarkan pada pandangan dunia agama. Diman pandangan agama sangat efektif dalam memberikan orientasi terhadap penerapan ilmu pegetahuan.3
    Kemudian ketika kita mencoba melihat kesadaran dalam hubungan antara subjektif dan objektif , menurut pandangan metafisis tradisional; tidak terikat ke satu modus atau hanya ada satu kesadaran. Menurut S.H Nasr “Ada model dan derajat kesadaran terkemuka dari apa yang disebut "normal" persepsi oleh manusia dari kedua egonya sendiri dan dunia luar untuk kesadaran Ultimate Self-hood, di mana subyek dan obyek pengetahuan menjadi bersatu dalam satu kenyataan melampaui semua pemisahan dan perbedaan” 4 Kesadaran diri, dari sudut pandang metafisik tradisional, bukan semata-mata fakta biologis kehidupan umum untuk semua manusia. Ada lebih dari satu tingkat makna untuk “diri sendiri” dan lebih dari satu tingkat “kesadaran” manusia sadar akan dirinya sendiri atau ego, tapi seseorang juga berbicara tentang pengendalian diri, dan karena itu berarti bahkan dalam kehidupan sehari-hari adanya kehadiran diri lain yang mengendalikan diri rendah. ª
    Dalam penglihatan selanjutnya, dalam kehidupan sosial, kesadaran juga dapat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Saintis. Sebagaimana dikatakan Andre Linde, Kosmolog Rusia  bahwa “ketika para saintis memulai kerjanya, secara tidak sadar mereka dipengaruhi oleh budaya dan tradisi mereka”. Sebagai contoh; ketika kita berhadapan dengan masalah permulaan alam semesta dan kita ingin memilih antara teori-teori yang ada sekarang, mentalitas bawaan kita sangat efektif dalam menentukan pilihan. Misalnya seorang teistik dapat menafsirkan fakta-fakta yang ada dalam suatu kerangka tertentu, begitu juga dengan seorang ateis dapat melihatnya dari kerangka lain. Dengan kata lain, pandangan dunia para saintis memberikan orientasi dalam berteori dan memilih teori-teori yang ada.
    Seperti telah disebutkan sebelumnya, kegiatan ilmiyah bisa dilakukan dalam berbagai kerja metafisika. Baik seorang yang percaya kepada Tuhan maupun seorang ateis sama-sama bisa melakukan kerja ilmiyah yang berhasil. Hal ini sangat berkaitan dengan tingkat kesadaran mereka dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
    Penelitian terakhir menunjukkan bahwa ide-ide agama telah membawa pengaruh pada konstruksi, seleksi dan teori evolusi. Kelihatan secara jelas bahwa jika salah satu agama dan sains tidak menolak pengetahuan lain, maka pasti ada tempat bagi terbukanya ilmu pengetahuan. Hal inilah yang mendasari pengaruh agama terhadap sains. Dimana dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pertama; pikiran metafisis dalam ilmu pengetahuan seringkali didasarkan pada pandangan dunia agama. Dan kedua; pandangan agama sangat efektif dalam memberikan orientasi terhadap penerapan ilmu pengetahuan.5

C. Pandangan Saintis Modern Terhadap Kesadaran Manusia.
    Beberapa teori fisika harus diawali dengan pengetahuan tentang fakta bahwa kita ada disini dan mampu untuk merefleksikannya di alam raya ini. Alam kita juga telah mampu untuk menghasikan kehidupan. Bahwa, bagaimanapun juga kita mungkin menerima bahwa disana ada hubungan antara fakta dari penelitian kita dengan berbagai macam fakta dalam alam yang kita tinggali, akan tetapi sebaliknya mungkin saja alam tidak pernah menghasilkan para peneliti tersebut. 6
    Jika kita melihat teori fisika kontemporer secara serius, mungkin akan kita temukan bahwa tidak selalu merefleksikan pikiran manusia, tetapi sebatas usaha untuk mendiskripsikan, menggambarkan dan menjelaskan keberadaan alam (kosmos), diamana itu kelihatan menolak pandangan bahwa “kita adalah bagian dari alam” Akan tetapi kesadaran adalah hal yang esensial dalam sains, sehingga seorang fisikawan telah menulis bahwa “akan terus adanya kesadaran terhadap alam dalam kesadaran diri manusia. Hal ini dapat menjadi sesuatu yang sangat berharga, sebuah hasil yang sangat berarti dan penuh tujuan,  Dimana keberadaan manusia dengan kesadaran terhadap aalam adalah sebuah keharusan dan pasti.  (Davies, 1992, p.232)7
    Yang menjadi pertanyaan dari permasalahan ini adalah, mengapa kesadaran manusia dan pemahamnnya dalam pengetahuan ini menjadi penting? Kita kembali kepada pertanyaan hubungan antara pikiran manusia dan alam yang merupakan bagian kecil darinya. Sebuah kemungkinan dapat disimpulkan disini bahwa ketika sebuah  kesadaran dan rasionalitas bersama, keduanya akan berevolusi secara kebetulan, dan tidak mungkin berhubungan dengan pertanyaan penting tentang awal alam.  Menurut Roger Trigg, manusia hidup tidak sesederhana sebagaimana akibat-akibat yang tidak dapat dihitung yang tidak berhubungan dengan proses-proses dasar fisika di alam ini. Keberadaaan kita tergantung pada apa yang terjadi bahkan dalam sebuah peristiwa yang pasti setelah Big Bang.8
    Kalau kita melihat bagaimana saintis menggunakan teori-teori fisika untuk menghubungkan antara keberadaan yang sesungguhnya dengan kesadaran subjektif manusia terhadapnya? Ini mungkin akan terlihat sebagai sebuah kebenaran, tetapi lebih daripada itu, teori sains akan terlihat untuk merefleksikan fakta tentang diri kita dari pada alam itu sendiri. Penekanan sains sebagai bentuk kesadaran manusia atas kehidupannyaa adalah sebuah keniscayaan.

KESIMPULAN.

    Setelah kita melihat berbagai pandangan mengenai hubungan sains dan kesadaran manusia, kita dapat memberikan gambaran umum bahwa tidak akan tercipta sebuah sains tanpa adanya kesadaran manusia yang intens terhadap realitas alam. Kemajuan sains diawali dengan adanya kontemplasi dan kesadaran penuh akan realitas, baik itu materi maupun immatri, untuk kemudian direfleksikan pada ilmu-ilmu dalam kehidupan manusia.  Dimana seluruh bidang ilmu(sains)  terdapat dua aspek utama. Aspek pertama merupakan realitas alam semesta seperti fakta-fakta. Dan aspek kedua adalah pandangan manusia yang telah mengelompokkan fakta-fakta ini dan membentuknya menjadi sebuah teori dan merumuskannya menjadi sejumlah konsep.
    Dari ketiga pandangan tersebut, yaitu pandangan filosofis, pandangan metafisik agama dan pandangan saintisme dapat disimpulkan bahwa ketiganya sama-sama menempatkan “kesadaran” sebagai sebuah keniscayaan akan keberadaan sains, walaupun ketiganya melihatnya secara berbeda. Saya kira perbedaan itu diawali dengan persoalan penekanan antara subjektifitas dan objektifitas dalam sains itu sendiri. Dan akhirnya kita dapat melihat bahwa hubungan antara kesadaran manusia dan sains adalah sesuatu yang tidak akan pernah terpisahkan selama ada keberadaan manusia di alalm semesta ini.
     Dan setelah kita mengetahui titik persoalan hubungan kesadaran dan sains ini, diharapkan kita menggali dan selalu mengembangkan kesadaran kita terhadap diri kita dan terhadap alam raya ini dan tentunya kepada Sang Pencipta kita, dan pada saatnya nanti, akan berkembang sebuah sains yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan bahkan tidak menutup kemungkinan sains yang berbasis Ketuhanan.


BIBLIOGRAPHY.

Ø    Bagir, Zainal Abidin, dkk. Ilmu, Etika dan Agama. Menyingkap Tabir Alam dan Manusia. CRCS. Jogjakarta. 2006
Ø    Ghosandi., Mehdi Dalam pengantar buku “Kloning Dalam Perspektif Islam” Menyingkap Hubungan Sains dan Agama. Teraju. Jakarta : 2007
Ø    Trigg, Roger. Rationality and Science. Can Science Explain Everything?. Blackwell. USA. 1999.
Ø    Popper, Karl. All Life is Problem Solving. Routledge. London. 2005 (99-104)
Ø    Rolston III, Holmes. Science and Religion. Templeton Foundation Press. Philadelphia. 2006. (Human Uniqueness and Human Responsibility. (xi –xiv)
Ø     Nasr, Sayyed Hossein. The Need for A Sacred Science. Curzon Press Ltd. British. 2004

POSTMODERNISME AND “CLASH OF CIVILIZATION”, ISLAM sebagai ANCAMAN BARAT?

POSTMODERNISME AND “CLASH OF CIVILIZATION”,
ISLAM sebagai ANCAMAN BARAT?
by: Abduh Muhammad

Abstraksi.
Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang surut. Banyak peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir sejarah. Walaupun demikian, tentu masih ada peradaban yang mampu berkembang dengan pesat, mampu beradaptasi dan mempengaruhi kehidupan manusia pada zamannya. Manusia dengan segala potensinya telah membentuk sebuah peradaban baru yang mungkin tidak dibayangkan sebelumnya oleh para nenek moyang mereka.
Akan tetapi peradaban yang telah berkembang itu seakan mendapat ancaman. Sebuah tesis atau tepatnya ramalan telah dilontarkan Samuel P Huntington pada abad ini bahwa pada masa depan akan terjadi benturan antar peradaban. Lebih jauh lagi, dia menjelaskan bahwa benturan itu akan terjadi antara peradaban Barat dan Peradaban Islam. Mungkin ini adalah sebuah ramalan yang fantastis, kenapa tidak, karena fenomena politik global tengah mengarah pada ramalan tersebut. Berbagai persinggungan konflik telah terjadi di beberapa belahan bumi. Bahkan tidak sedikit persinggungan tersebut telah dinodai dengan peperangan dan saling menghancurkan. Adanya hagemoni politik peradaban tertentu semakin memperparah situasi ini, kapitalisme, hagemoni pengetahuan bahkan ideologi Modern (Barat) banyak dipaksakan pada peradaban yang menurut mereka lebih rendah guna membentuk tatanan dunia baru yang mereka inginkan.
Agama sebagai sesuatu yang sangat fundamental seakan menjadi kambing hitam dalam setiap persinggungan ini. Kita dapat mengatakan bahwa “agama adalah ruh dari peradaban” itu sendiri, karena keduanya tidak pernah terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Adanya interpretasi keliru terhadap beberapa doktrin keagamaan telah menambah runyam permasalahan benturan antar peradaban ini. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan baru, munculnya kalangan konservatif yang berusaha melindungi akar budayanya, fundamentalisme ekstrim, bahkan muncul terminologi terorisme yang sungguh merusak peradaban.
Posmodernisme disisi lain telah muncul dalam peradaban itu sendiri. Posmodernisme baik berupa paradigma maupun aspek sosio-cultural tentu tidak tinggal diam terhadap fenomena ini. Akan tetapi, harus kita akui posmodernisme sendiri memiliki sisi positif dan juga negatif. Secara positif Posmodernisme diharapkan mampu meredam konflik tersebut. Atau paling tidak terus berusaha menanyakan secara kritis terhadap setiap fenomena yang terjadi maupun terhadap tesis itu sendiri.

Baca selengkapnya »

Label:

Jumat, 25 September 2009

Jalinus Blog: MENANGISLAH !!! PUISI RUMI

Jalinus Blog: MENANGISLAH !!! PUISI RUMI

Senin, 07 September 2009

NASIRUDDIN AL-TUSI (1201 – 1274 M) Filsuf Sosio-Politik Islam


NASIRUDDIN AL-TUSI
(1201 – 1274 M)
Filsuf Sosio-Politik Islam
By: Abduh Muhammad
Pendahuluan
Invasi Mongol seakan menjadi sejarah kelam peradaban Islam. Kekhalifahan Abasiyah telah runtuh, dan pemerintahan ala Mongol telah memulai periode baru. Disisi lain, pasca invasi Mongol juga menandai periode kebangkitan dan perkembangan Syiah Imamiyah. Dalam beberapa aspek tertentu, bangsa Mongol berperan sebagai pembebas kaum Syiah, bahkan memberikan mereka kedudukan sosial yang cukup penting. Populasi Syiah bertambah besar seiring dengan tumbuhnya kepercayaan bangsa Mongol dalam urusan administrasi pemerintahan. Hal ini terjadi, tidak lain karena Mongol adalah bangsa bar-bar yang tidak mengerti usrusan pemerintahan, sehingga hal itu banyak dipercayakan kepada orang-orang Persia, yang kebanyakan penganut Syiah.
Akan tetapi, dibalik kejadian itu telah dimulai sebuah kebangkitan intelektual baru. Seorang tokoh yang menjadi aktor intelektual masa itu adalah Nasiruddin Al-Thusi. Seorang yang sangat jenius yang menguasai filsafat, fikih dan teologi di Nisapur. Ia juga dikenal sebagai ahli matematika dan astronom yang cukup tenar. Akan tetapi kecakapannya telah menimbulkan masalah bagi dirinya. Ia dipaksa untuk bekerja selama kurang lebih dua puluh tahun sebagai astrolog di benteng Alamut dibawah dinasti Nizari-Ismailiyah. Akan tetapi kecenderungan intelektualnya semakin bertambah, karena dalam benteng tersebut telah dilengkapi dengan sebuah perpustakaan yang cukup besar. Dan disinilah, dengan kondisi dan situasi tersebut, ia mulai menyusun pandangan-pandangan politiknya. Beberapa karya telah dibuatnya, seperti Akhlaq-i Nasiri¸ Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, dan juga sebuah karya sufi mengenai jalan mistis Jalaluddiin Rumi.
Sebagai seorang intelektual politik, Nasiruddin At Thusi sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Aristoteles, Al Farabi, dan juga tradisi Iran (Syiah) begitu kuat mengakar dalam dirinya. Hal ini menjadikannya sangat memahami teori-teori klasik Yunani tentang masyarakat sosial dan juga permerintahan. Selain itu, sebagai seorang pengikut Syiah, ia sangat dekat dengan tradisi pemikiran Imamiyah, tentang nubuwah, dan keadilan, yang kesemuanya itu akan sangat mempengaruhi dalam pemikiran politiknya. Dua hal tersebut seakan menyatu dalam dirinya dan memunculkan pandangan Filsafat sosial-politik yang unik dan mungkin sangat berpengaruh bagi pemerintahan Syiah dikemudian hari.

A. Biografi Intelektual Nasiruddin At Thusi1
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasam Nasiruddin Al-Tusi, Ia terlahir pada 18 Februari 1201 di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, Persia – sekarang sebelah timurlaut Iran. Dia biasa di kenal dengan sebutan Nasiruddin al-Tusi, meskipun demikian dia juga mempunyai beberapa nama yang berbeda di karenakan kemahsyurannya antara lain Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi dan Khuwaja Nasir. Al-Tusi pun dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, politik, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.*
Sejak usia belia, Tusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan pengetahuan logika, fisika, metafisika dari pamannya Ketika menginjak usia muda, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol dibawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah mempelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan. Karena keahliannya, akhirnya ia ditarik oleh penguasa dinasti Nizari Ismailiyah. Selama mengabdi di istana itu, ia mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232.
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan cucu Jengis Khan pada tahun 1251 akhirnya menguasai istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Nyawa al-Tusi selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuandengan. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan. Bahkan setelah itu ia diangkat sebagai wazir dan pengawas lembaga-lembaga agama untuk pemerintahan Mongol. Karenanya, ia dapat meningkatkan pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran. Bahkan kecenderungan intelektualnya semakin bertambah ketika Hulagu membuatkan sebuah observatorium untuknya. Dia juga menulis buku untuk seorang raja Mongol, yang berjudul Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi tentang nasihat-nasihat keuangan Negara dan administrasi pemerintahan.
Karir ilmu pengetahuan dan sumbangannya terhadap dunia Islam sungguh besar. Ia wafat pada 26 Juni 1274 di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang hingga sekarang.
B. Integralitas Pemikiran Nasiruddin al Tusi
Abad 13 adalah masa kritis pemerintahan “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi kita mengenal, Nasiruddin Al Tusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Dia mempelajari filsafat Yunani dan filsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina dan sebagainya. Dia juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nisapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang berpengaruh.
Ia juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Nizari- Islamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa jadi at Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari Islamiliyah yang berjudul Rawdhah alTaslim atau Tashawurat.2
Dalam pemikiran agama, al Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dengan ibn Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.
Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre Nashat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarha, dan komunitas kota, provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sina, dan bagian III menggunakan pemikiran Al Farabi. (Akhlaq-i Nasiri, hal 187).
Nasiruddin Al Tusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, pada hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk 1). Individu, 2). Keluarga, dan 3). Penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti. Dia menafsirkan Negara atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fukuha dan juga para imam. Sehingga Tusi menganggap syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni. 3
C. Pemikiran Sosial-Politik Nasiruddin Al-Tusi.
Nasiruddin al Tusi adalah seorang pemikir politik yang cukup menarik. Dengan keahliaannya yang sangat komplit, Tusi mampu menyuguhkan sebuah pemikiran idealis tentang politik. Hal ini akan kita lihat ketika Tusi, pertama-tama mengkaji tentang kemanusiaan sebagai tahap awal munculnya politik dalam diri manusia, kemudian Ia juga membahas bagaimana fitrah manusia sebenarnya, dsb. Dan yang kedua adalah tentang masyarakat politik, dia akan menjelaskan elemen-elemen masyarakat politik seperti adanya kerja sama dalam bidang ekonomi, elemen keadilan, dan bahkan elemen cinta. Untuk itulah disini akan kita lihat pemikiran sosio-politiknya yang khas. Kemudian setelah terbentuk masyarakat politik, Tusi juga menjelaskan adanya kelompok masyarakat dengan status yang berbeda berdasarkan kemampuan dan usaha mereka masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles. Dan kesemuanya itu akan sangat jelas dan khas dalam pandangannya tentang Negara aktual yang bercorak Nasihat kepada Raja atau pemimpin, yang mengisyaratkan adanya sebuah “persatuan spiritual” dalam mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.

C.1 Pemikiran tentang Kemanusiaan
Pemikiran politik al Tusi didasarkan atas pandangan tentang kemanusiaan sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi dengan tingkatan lahir yang fana. Ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya pribadinya masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya menjadi tanggung jwab penalarannya sendiri yang merdeka.4
Mengenai kecenderungan moral manusia, al Tusi menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”. (Akhlaq-i Nasiri. hal 210). Dia menyimpulkan bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan; pertama, pengaturan dunia materi oleh akal, melalui seni dan ketrampilan. Kedua, ia membutuhkan pendidikan, disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya diadaptasikan dengan dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktur.
C.2 Pemikiran tentang Masyarakat Politik.
Di dalam menjelaskan tentang adanya kerja sama dan organisasi sosial yang dia sebut dengan masyarakat politik, sebuah masyarakat yang tercipta karena secara fitrah manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai kebebasan dalam berpikir. Disnini Nasiruddin al Tusi membaginya kedalam tiga elemen dasar terciptanya masyarakat politik tersebut;
Elemen yang pertama adalah bidang ekonomi politik, khususnya ketrampilan. Kebutuhan hidup manusia disediakan oleh ‘pengaturan teknik (tadbir al-shna’i) seperti penanaman bibit, panen, membersihkan, menumbuk dan memasak’. Menurutnya, untuk alasan ini Kebijaksanaan Tuhan meniscayakan perbedaan hasrat dan pendapat manusia, sehingga setiap manusia menghasratkan pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang menginginkan pekerjaan mulia, ada yang hina, dan kenyataanya kedua-duanya sama-sama merasa gembira dan puas.
Kemudian yang menarik disini ketika Tusi berpendapat bahwa ketrampilan ini sangat bergantung pada uang. Menurutnya “uang” merupakan sebuah “instrumen keadilan”. Uang adalah hukum yang lebih rendah, mediator yang adil antara manusia dalam berhubungan ekonomi, bahkan dapat dikatakan juga bahwa uang adalah merupakan “keadilan yang diam”. Selain uang, ketrampilan pun bergantung pada oraganisasi sosial. Menurutnya, karena manusia harus bekerja sama, maka spesies manusia pada hakikatnya membutuhkan perpaduan, yakni terbentuknya kehidupan sipil atau tamaddun.5 Karena itu manusia pada dasarnya adalah penduduk kota atau warga Negara.
Selanjutnya yang dibutuhkan sebuah warga Negara adalah suatu manajemen khusus, yaitu Syiasah atau pemerintahan. Pemerintahan dibutuhkan karena pertukaran moneter antar manusia kadang-kadang membutuhkan arbitase. Maka menururtnya elemen kedua dalam masyarakat politik adalah “keadilan”. Dalam hal ini Tusi sangat terpengaruh oleh Plato yang memandang keadilan sebagai inti kebajikan, harmoni keberagamaan. Kemudian ia melanjutkan bahwa keadialan di kalangan manusia tidak dapat dijalankan tanpa tiga hal; perintah Tuhan (numus-I ilahi), seorang pemberi keputusan dii antara manusia (hakim) dan uang. (Akhlaq-i Nasiri hal 97, 190).
Elemen terakhir yang mungkin paling unik adalah penjelasannya tentang asosiasi manusia dengan “cinta”, yang menurutnya memainkan peran lebih sentral dari pada teori sosial Islam yang lainnya. “Cinta” melahirkan kehidupan yang beradap (tamadun) dan persatuan sosial. Baginya cinta merupakan “penghubung semua masyarakat”. Cinta mengalir dari fitrah manusia itu sendiri. (Mungkin ini dambil dari gagasan neo-Platonis). Menurutnya semakin kita tersucikan, semakin kita menjadi subtansi-subtansi sederhana yang mengetahui bahwa “tidak ada perbedaan antara memaknai atau mengabaikan sifat fisik” dan bahkan mencapai “kesatuan batin” melalui cinta satu sama lain. Sebagai contoh, disini Al Tusi memandang umat Islam terdiri atas asosiasi tunggal, sebagaimana pengertian Aristoteles. Sikap saling membantu dan mencintai serta kerja sama membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini secara tidak langsung melahirkan kemanuggalan semua orang pada Manusia Sempurna, sebagaimana diajarkan dalam doktrin Syiah Ismailiyah. Disini dapat kita lihat sepertinya Al Tusi telah berhasil dalam mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dan Syiah secara lebih mendalam
Secara lebih khusus, Al Tusi seperti pemikir muslim lainnya memandang pemerintahan atau syiasah dalam kaitannya dengan perhatian pada karakter dan hak-hak istimewa pemimpin, yang dia sebut sebagai raja (Malik). Dia sangat rinci didalam menjelaskan adanya empat tipe pemerintah dari pemikiran filsafat Aristoteles, yaitu; pemerintahan yang mementingkan keagungan raja, kekuasaan, kemuliaan dan komunitas. Al Tusi hendak mengatakan bahwa keempat aspek itu sama-sama terdapat dalam sebuah pemerintahan; raja adalah sebuah “pemerintahan dari berbagai pemerintahan” yang berfungsi untuk mengorganisasikan ketiga aspek lainnya (Akhlaq-i Nasiri hal. 191).
Disini al Tusi tampaknya mengaitkan pandangannya dengan pemerintahan yang bernuansa keagamaan. Pemerintahan umat berurusan dengan peraturan-peraturan keagamaan dan dengan keputusan-keputusan intlektual. Walaupun Tusi barangkali merujuk pada “pemerintahan oleh rakyat untuk kebaikan bersama (politea), ia tidak menfsirkannya dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat, sebagaimana demokrasi. Namun, menurutnya pemerintahan seperti itu harus dipimpin oleh seorang istimewa yang ditunjuk oleh Tuhan dan agar rakyat mengikutinya. Dimana menurut pandanganYunani kuno disebut sebagai “pemilik Hukum” dan kaum Muslim menyebutnya dengan Syariat. Disini dia menjadi sedikit berbeda dengan Al Farabi, dan menganggap bahwa pemerintahan “oleh rakyat” adalah bentuk pemerintahan yang baik. Dan mungkin kalau ditarik lebih jauh lagi pada masa sekarang, konsep sederhana Tusi tentang pemerintahannya ini sebagai awal perkembangan Syiah Imamiyah dan bahkan yang melahirkan Republik Islam yang pertama di Iran oleh Imam Khomeini.
C.3 Terciptanya Kelompok-kelompok Politik.
Sebagaimana Al Farabi yang mencoba mengklasifikaskan manusia berdasarkan pembagian kerja dan kecenderungan individu dalam pemenuhan kebutuhannya, Nasiruddin al Tusi juga membagi komunitas manusia kedalam ; 1) keluarga, 2) Kedaerahan, 3) kota, 4) Komunitas besar, umam-I kabir, sebuah bangsa, dan 5) penduduk dunia. Yang menjadi menarik disini adalah bagaimana menghubungkan komunitas-komunitas tersebut? Al Tusi mengajukan sebuah pengajaran filsafat yang tercipta pada konsep tentang kepemimpinan (rais). Walaupun setiap kelompok mempunyai pemimpin masing-masing, kepala keluarga adalah bawahan dari kepala daerah, dan seterusnya, dan semuanya merupakan bawahan dari pemimpin dunia, sang pemimpin Mutlak bagi kehidupan politik manusia. Kelangsungan dan kesempurnaan setiap individu sangat tergantung pada komunitas yang terakhir ini (Akhlaq-i Nasiri hal 155) 6
Komunitas universal ini kemudian bergantung pada ilmu politik (hikmat-i al-madani) “kecakapan tertinggi” yang mengungguli seluruh kecakapan lainnya, yang menjadi “kajian hukum universal / Qawanin, yang menghasilkan manfaat terbaik bagi mayoritas, karena mereka diarahkan, melalui kerjasama, menuju kesempurnaan sejati. (Akhlaq-i Nasiri hal 192). Menurutnya pengetahuan tertinggi mengenai hikmah merupakan fondasi keteraturan sosial.
Lebih rinci lagi, dan mungkin ini yang membedakannya dengan Al Farabi tentang pembagian kelas sosial, nampak Al Tusi sangat kontekstual terutama pada wilayah hidupnya, yaitu khas Iran-Islam. Pengelompokan itu meliputi; 1). “ahli pena” yaitu orang-orang yang pakar dalam ilmu pengetahuan, yang meliputi fikih, dokter, penyair, ahli geometri, astronom, dimana keberadaan dunia sangat bergantung kepadanya. 2). “ahli pedang” yaitu para tentara dan prajurit. 3). “ahli bisnis” termasuk diantaranya para pedagang, pekerja terampil, dll. Dan 4). Petani.7
Disini kita melihat bahwa tujuan dari ilmu politik adalah menciptakan keseimbangan diantara berbagai lapisan komunitas baik secara vertikal maupun horisontal. Sebuah keadilan yang tercipta antara pemimpin utama, dibawahnya, dan seterusnya, dan juga keadilan dalam suatu lapisan masyarakat. Dari tujuan ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah mempelajari ilmu politik itu diharuskan pada setiap orang? Itu juga yang menjadi pertanyaan Al Tusi. Mungkin disini saya setuju dengan Antony Black yang berpendapat bahwa disinilah muncul sebuah sentiment egalitarian, yang mungkin lebih dekat dengan ilmu agama Sunni dari pada Syiah. Dimana sejauh pembacaan saya terhadap pemikiran politik Tusi, mengisyaratkan akan adanya pembelajaran tentang ilmu politik bagi semua orang. Akan tetapi bagaimanapun juga, tujuan politik adalah kebajikan, dan bahwa setiap orang harus belajar untuk mencapai kesempurnaan ini. 8
Kemudian yang menjadi menarik disini ketika al Tusi yang menyebut asosiasi seluruh dunia dibawah “pimpinan imam”, sebagai “Kota Utama”. Selain hal ini mirip dengan konteks pemikiran Al Farabi, hal ini mengisyaratkan adanya pandangannya tentang komunitas Syiah (mungkin imamiyah) sebagai kota Utama yang ia maksudkan. Menurutnya, Kota Utama digambarkan sebagai komunitas orang-orang yang selaras dalam pandangan dan perbuatan, sebuah komunitas spiritual yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Penduduk Kota Utama, kendati beragam di seluruh dunia, namun dalam realitas mereka saling bersepakat…dan dalam jalinan kasih saying sehingga keseluruhan mereka tampak satu orang. (Akhlaq-i Nasiri hal. 215).
Sebagai wujud dari kekhasan teori sosio-politiknya, Al Tusi mencoba membahas lebih dalam tentang sebuah Negara aktual yang dipimpin oleh seorang raja “agung” (Badshah) dalam wacana bergaya Nasihat kepada Raja. Mungkin bahasan ini hampir sama dengan bahasan mengenai Kota Ideal, tetapi ini berbeda dalam hal cara pencapaiannya. Menurut Al Tusi, jika kerajaan ingin mencapai kesuksesan, maka ia harus mempunyai “persatuan spiritual”. Pandangan ini sangat jelas terlihat dalam konsepnya tentang elemen cinta, bahwa sesungguhnya ketika seluruh penduduk sudah menyadari akan kesatuan mereka sebagaimana satu tubuh, maka kerja sama dan saling tolong menolong akan tercipta dengan sendirinya. Semua ini ia ibaratkan bagai kerjasama organ dalam tubuh manusia. Tingkat persatuan spiritual semacam itu menentukan kemajuan dan kemunduran Negara.
Di Negara-negara aktual, kewajiban pemimpin adalah memikirkan keadaan rakyatnya dan mengabdikan dirinya untuk menjaga keadilan. Artinya secara khusus tugas kepala Negara adalah menjaga keseimbangan antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga pemimpin harus menghindarkan dari dominasi antar kelompok. Maka secara tidak langsung disini jelas terlihat pemikiran sosio politik Nasruddin Al Tusi ketika menjadikan status, atau kelas sebagai perhatian utama pemerintah. Dalam pemikirannya, status dan divisi kerja memiliki kedudukan yang tidak pernah diungkapkan oleh para pemikir pra modern lain, atau bahkan para pemikir sebelum Durkheim. Inilah mengapa saya menyebutnya sebagai seorang filsuf dan pemikir Sosio-Politik yang sangat idealis dan unik.

D. Kesimpulan
Nasiruddin Al Tusi adalah seorang filsuf yang komplit, dia menguasai ilmu pengetahuan di berbaga bidang, dia adalah seorang fakih, astronom dan astrolog, ahli matematika, dan tentunya menguasai bidang politik. Sebagaimana kita ketahui bahwa dia hidup dalam masa peralihan kekuasaan antara Ismailiyah Nazari menuju dinasti Mongol, yang nantinya menjadi Dinasti Ilkhan Islam. Hal ini secara tidak langsung sangat mempengaruhi pemikiran politiknya. Kalau boleh dibilang, Al Tusi adalah seorang yang berdamai dengan pemerintahan yang ada, khususnya yang cenderung pada pandangan Syiah, terutama Imamiyah. Walaupun terkesan seorang praktisi, tetapi kemampuannya di dalam segala hal, termasuk pemerintahan tidak diragukan laggi.
Kecenderungan akan pandangan-pandangan Syiah lebih berkembang pada masa Dinasti Mongol, karena kecakapan mereka dalam pemerintahan. Hal ini menjadikannya sebagai seorang pemikir politik idealis yang telah berhasil mensintesiskan pandangan banyak pemikir sebelumnya, seperti Aristoteles, Neo-Platonis, Al Farabi dan juga Ibn Sina. Pemikiran Politiknya menjadi sangat kompleks, ketika dia mengintegralkan pandangan fikih, teologi dan filsafatnya dalam sebuah teori politik yang unik. Mungkin kalau dilihat sepintas pemikiran politiknya adalah idealis untuk masa sekarang, atau mungkin pada waktu itu. Inilah mungkin yang menjadi ciri khas seorang filsuf sebagaimana Al Farabi, dan berbeda dengan para pemikir praktis politis seperti Al Mawardi.
Dilihat dari pengaruhnya, pemikiran Nasruddin Al Tusi secara umum telah mendapatkan tempat di hati umat Islam, khususnya para pemikir politik terutama di Persia dan Turki. Kalau dapat ditarik pada masa sekarang pemikiran politik Tusi dapat kita lihat adanya hubungan penting antara Eropa-Asia pra Mongol dan kultur birokratis Negara-negara modern awal yang sangat rumit. Nasiruddin Al Tusi mentransmisikan unsur-unsur filsafat politik Islam klasik ke dunia modern awal. Sehingga walaupun terkesan sebagai pemikran politik idealis, pengaruh Al Tusi sangat besar di hati para pemikir modern Syiah khususnya, di Iran. Hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut, ketika saya ingin mengatakan bahwa Negara Republik Islam Iran adalah sebuah hasil sintesis pemikiran para aktor revolusi dalam menciptakan Negara tersebut, terutama Imam Khomeini. Atau paling tidak disini saya ingin mengatakan bahwa pengaruh itu telah ada pada diri Imam Khomeini dalam pandangannya tentang Republik Islam Iran.


BIBLIOGRAFI
1. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. Serambi. Jakarta: 2006
2. Lambton Ann K. S., State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of Islamic Political Theory The Jurist, Oxford University Press, 1985
3. Rosenthal E.I.J., Political Thought in Medieval Islam: An Introduction Outline, Cambride University Press, 1962
4. Nasr, Sayyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Islamic Texts Society. Cambridge: 2004
5. www.republika.co.id/berita/41400 tanggal 25 Maret 2009
6. www.wikipedia.com.

Label:

Pendekatan Feminis dalam Studi Agama
by: Abduh Muhammad

Pendahuluan
“Gender” menjadi sebuah istilah yang sangat populer akhir-akhir ini. Berbagai pemaknaan telah diperbincangkan dari warung kopi sampai warung politik. Seakan “Gender” menjadi sebuah istilah yang memunculkan decak keingintahuan orang terhadapnya. Bahkan tidak sedikit orang yang sengaja meneliti dan merumuskannya kedalam sebuah ilmu pengetahuan yang sistematis. Padanan kata ataupun istilah yang mengarah pada perbincangan ini adalah feminisme. Feminisme menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan gejala sosial dalam masyarakat, tidak hanya dalam tataran teoritis terhadap pemaknaannya, tetapi juga dalam ke-sentimen-an praktis dan fanatis masyarakat terhadap paham ini.
Pemaknaan dan penyusunan persoalan feminispun berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan manusia. Sebagai fenomena sosial dan bahkan essensial, feminisme menjadi sangat erat dengan berbagai pandangan lainnya yang sebelumnya sudah dikenal baik oleh masyarakat, seperti antropologi, sosiologi, dan filsafat, bahkan dengan ranah spiritual seperti agama. Dalam perkembangan selanjutnya, “feminis” tidak hanya menjadi objek perbincangan (penelitian), tetapi feminisme dengan segala potensialitas dan keunikannya mampu menjadi sebuah cara pendekatan baru terhadap berbagai ilmu lainnya. Ini tentu tidak terlepas dari bagaimana seorang ahli mendeskripsikan dan menjelaskan relasinya dengan berbagai ilmu atau fenomena yang ada di dalam masyarakat. Itu dapat kita tinjau, ketika feminis berbicara di depan ilmu sosiologi, filsafat, psikologi, termasuk agama. Bahkan ia berusaha melihat mereka dari kacamata feminis sendiri, dan itulah yang kita maksud dengan pendekatan feminis atau perspektif gender.
Dan pendekatan feminis inilah yang berusaha saya kupas dalam makalah singkat ini. Walaupun langkah awal penyusunan makalah ini adalah resume dari sebuah buku Petter Cornoly, tetapi saya akan berusaha untuk memberikan perspektif saya dalam melihat persoalan ini. Untuk itu ini akan terlihat sebagai sebuah paper dari pada hanya sekedar resume buku. Dan akhirnya kita dapat menemukan sebuah perspektif pendekatan baru yang bisa diterima.

A. Pencarian makna Pendekatan Feminisme
Pendekatan feminis dalam studi agama, merupakan sebuah upaya transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai pisau kategori analisisnya. Feminis dan studi agama menurut para feminis religius, seperti Anne Carr yang meyakini bahwa keduanya sangat signifikan dan terkait untuk diangkat menjadi sebuah wacana dan pengetahuan baru. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam. Dan tugas utama feminis adalah mengindentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dengan pandangan keagamaan terhadap, kedirian, dan bagaimana menjalin hubungan baik antara keduanya.1
Dalam pemaknaan diatas, Sue Morgan, misalnya menggunakn istilah “Transformasi Kritis” dalam mengindikasikan dua aspek pendekatan feminis. Dimensi “kritis” ini menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik keagamaan yang lebih melegitimasi superioritas laki-laki dalam setiap bidang sosial. Kemudian aspek “transformatif” meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengkokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan.
Jika kita lihat lebih jauh dalam perkembangannya, feminisme dengan pengikut yang berbeda latar filosofinya, pastilah berbeda dan mempunyai fanstisme masing-masing. Misalanya dapat kita lihat, adanya Feminis Radikal yang berkembang di Inggris dan USA yang sangat kritis dan keras dalam melihat ketidak-adilan dalam agama, terutama dalam kasus ini terjadi pada agama Kristen, sehingga mereka juga disebut dengan Post-Kristen atau Postpatriarkal, karena mereka berusaha untuk menolak adanya intitusionalis agama dan bahkan mereka mengarah pada spiritualitas yang berpusat kepada perempuan. 2
Menurut Soe Morgan “Feminisme bukanlah merupakan fenomena tunggal atau monolitik melainkan mencakup spektrum perspektif politis atau ideologis yang luas” 3 Oleh karenanya kita harus memulai pendefinisian feminisme yang lebih inklusif dan luas, sehingga tidak terjadi benturan yang justru merusak. Disini David Bouchier mendiskripsikan feminisme dalam bentuk perlawanan terhadap diskriminasi sosial, personal atau ekonomi dimana perempuan sering menjadi objek penderita, dan hal itu karena perbedan jenis kelamin, mereka wanita. 4
Sehingga menarik disini, dari pendefinisian diatas, dapat kita lihat adanya kelonggaran dan kemungkinan laki-laki sebagai partner simpatik dalam persoalan feminis. Sehingga seorang feminis tidak selamanya harus perempuan. Dan sebaliknya, masih banyak perempuan yang dengan alasan-alasan apologetik justru setuju dengan konsep patriarki, yang sebenarnya menjadi musuh bersama dan kritik para feminisme. Patriarki adalah sebuah wujud sistem kekuatan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terintitusionalisasikan dalam kebudayaan masyarakat. Menurut feminis, Sekisme juga menjadi ideologi patriarki yang memojokkan perempuan pada isu-isu seks dan gender. Dimana seks mengacu pada sifat yang terberi secara biologis, sedangkan Gender adalah persepsi dan harapan-harapan kebudayaan tentang apa yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan.

B. Perkembangan Pendekatan Feminis.
Walaupun baru dikenal dan didengungkan sekarang, sebenarnya usaha yang mengarah kepada persoalan wanita dalam agama sudah dimualai sejak seabad yang lalu. Dalam meneliti respon feminis terhadap agama, sejarawan Olive Banks menyatakan bahwa kesempatan yang diperoleh perempuan dalam wilayah keagamaan sering didukung oleh suatu kesadaran yang dipolitisasi secara eksplisit. Ini terjadi dalam beberapa kasus feminisme Anglikan di Amerika dan Inggris dalam usahanya di parlementer dan membentuk gerakan perempuan Gereja..
Sebagai contoh, misalnya ketika Agama merupakan faktor yang kuat dalam membentuk dan mengarahkan feminisme Amerika. Kuatnya ideologis antara gerakan perempuan dan kampanye penghapusan perbudakan telah membawa kepada semangat reformasi. Inilah yang dikenal dengan semangat Evangelis yang mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuann yang mendasarkan pada definisi tradisional feminis, memuji bakat perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungan untuk mementingkan orang lain sebagai kualitas moral yang patut dicontoh. Kemudian gerakan ini teraplikasikan dalam sebuah wadah politik yang disebut Quaker di Senca yang telah menghasilkan konvensi 1884 dan resolusi final deklarasi hak-hak perempuan dalam mimbar keagamaan, perdagangan, profesi dan politik.
Berdasarkan semangat dan corak perjuangan feminisme, dapat saya bagi kedalam dua gerakan besar. Yaitu ; Feminisme Radikal dan Feminisme Liberal. Mungkin perjuangan mereka sudah dimulai sejak abad 19 dengan keterlibatan mereka dalam agama. Akan tetapi penamaan ini tentu menjadi “bias” oleh pandangan di luar mereka, atau sangat kecil kemungkinan klaim dari mereka sendiri. Istilah-istilah ini muncul berdasarkan pengamatan-pengamatan seseorang yang melihat mereka dari ciri-ciri, motifasi dan model gerakan mereka dalam memperjuangkan peran wanita dalam agama.
Misalnya saya ambil contoh, Feminisme Liberal, yang menentang ideal-ideal Injil tentang subordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. Pada tahun 1890 teoritisi Liberal Amerika, Elizabeth Cady dan Matilda J Gage mengkritik keras sistem patriarki dalam gereja. Akan tetapi mereka tetap seorang yang religius. Bahkan mereka beranggapan bahwa perempuan merupakan juga diciptakan dari image ketuhanan dan meniscayakan adanya representasi simbolik yang sama dengan laki-laki. Salah satu buku terkenalnya adalah “The Woman Bible’ yang berusaha mengkritik dan membongkar watak androsentrisme atau keterpusatan pada laki-laki dari tafsir tekstual yang ada.
Sebagian feminis abad 19 membangun analisis yang mereka tawarkan berdasar mainstream perempuan, sehingga hal ini mendorong memunculkannya persoalan-persoalan pada gelombang feminisme berikutnya, pada tahun 1960 dan1970. Analisis pertama adalah bahwa feminis tidak hanya mendokumentasikan sumber-sumber agama yang memiliki persepsi distorsif terhadap perempuan, tetapi juga berusaha mengemukakan alasan-alasannya. Misalnya menurut mereka, kesalahan itu trerjadi dalam doktrin teologis dan pemaknaan antropologis keagamaan. Ini tidak lain dari dimunculkannya sebuah pencitraan negatif terhadap perempuan, sebagai sosok penggoda, tabu, berbahaya, jahat, dsb.
Kemudian pada analisis selanjutnya adalah kemampuannya yang konsisten untuk mencakup wilayah respon yang lebih luas. Ini dimulai dengan penyingkapan rahasia patriarki dalam sebuah agama yang membangkitkan berbagai strategi dalam menghadapi permasalahan yang lebih rumit. Dalam gerakan awal ini dipandang sebagai Feminisme Radikal, karena mendobrak patriarki yang sudah mapan dalam keagamaan, akan tetapi ternyata gerakan ini mengarah pada semangat pembaharuan yang reformis. Feminisme Reformis mengkontruksi gerakan meraka dengan menerima tradisi keagamaan, cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki perempuan dalam kerangka kerja pembebasan perempuan yang lebih luas. Sedangkan feminisme radikal menekankan pembedaan esensial anytara jenis kelamin, menyerukan pada penemuan kembali prinsip feminin sebagi akhir dominasi patriarkal.
Misalanya dalam karya Mary Daly “Beyond God the Father” (1973) dia mengemukakan kritik kepada agama Kristen bahwa Kristen adalah agama yang memberhalakan laki-laki, dengan adanya simbolisme Tuhan Ayah, dan Kristus yang laki-laki yang menghambat perkembangan spiritualitas kaum perempuan. Di sini Daly menawarkan solusi dengan melakukan perombakan simbolisme dalam suatu pembalikan dramatis atau meninggalkan semuanya. Inilah semangat-semangat kaum feminis yang datang dari agama itu sendiri yang kemudian disebut dengan feminisme religius yang mencoba memahami perbedaan-perbedaan ideologis dan institusional.
Salah seorang feminis religius lainnya, Valerie Saving dalam The Human Situation; A Feminine View berusaha menuntut reformulasi definisi teologi tradisional tentang dosa dan kecenderungan kaum perempuan pada keterbelakangan dan penafian diri. Dari kritikannya ini, memiliki pengaruh yang cukup kuat ketika terori feminisme melihat adanya subjektifitas dalam kesarjanaan teologi dan keagamaan yang secara langsung dipengaruhi oleh identitas gender. Feminis menyadari bahwa generasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi andosentris lebih sering menunjukkan suatu persoalan tentang pengabaian perempuan secara terus terang dari pada permusuhan palsu, meskipun hasilnya sama. Disinilah sebuah pencitraan historis bermain, dimana secara sistematis dikeluarkan dari kerangka kerja kultur dalam penciptaan makna dan keyakinan.
Secara sederhana, corak perkembangan ini dibagi kedalam dua fase. Fase pertama dapat disebut sebagai dimensi kritis dekonstruktif dalam pendekatan feminis terhadap agama. Ini ditandai dengan kemunculan teologi feminin, yang memunculkan pandangan-pandangan mereka mengenai kesalahan doktrin keagamaan yang cenderung berpihak pada lelaki, misalnya penggunaan term umum laki-laki tidak menunjukkan bahwa mereka lebih superior dan sempurna dari pada perempuan. Dan fase kedua adalah fase transformatif, dimana feminis berusaha menerapkan hasil usaha kritis nya ke dalam ranah kehidupan nyata. Sehingga Feminis mampu mentransformasikan teori-teorinya dalam menjawab ideology patriarki dalam masyarakat dan meletakkan perspektif feminisme yang lebih tepat.

C. Karakteristik Dasar Pendekatan Feminis
Setelah kita menemukan makna pendekatan feminisme dalam melihat agama, perlu disini untuk menelusuri dan menemukan karakteristiknya. Karakter tersebut akan kita temukan dari berbagai cara dan pendekatan para feminis dalam melihat setiap fenomena agama, teks suci, sejarah, maupun kajian bahasa. Pandangan-pandangan kritis tentang tugas feminis awal membawa pada tahap rekonstruksi komprehensi terhadap kategori-kategori utama pemikiran keagamaan. Pertumbuhan dan derivikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber teori baru dan digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model androsentris sebelumnya dengan mengistimewakan pengalaman perempuan.
Adanya pembacaan dan pemahaman ganda pada terhadap konsep keagamaan dan apresiasi terhadap suatu watak metaforis bahasa teologis. Misalnya feminisme Religius yang berusaha menyesuaikan simbol-simbol Tuhan dengan mengusulkan rangkaian image-image yang beragam dan inklusif yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender. Dikatakan bahwa seksualitas metafor perempuan tentang Tuhan sering tidak menyenangkan bagi mereka yang benar-benar mengetahui teolog Barat.
Salah satu aspek ketuhanan feminisme paling signifikan yang diselamatkan feminis adalah personifikasi perempuan tentang kearifan Tuhan. Gambaran ini lazim ditemukan dalam banyak agama, misalnya image-image tentang Shekinah di Kabbalisme Yahudi, Prajnaparamitha pada Budha Mahayana, dan Holly Spirit pada Kristen. Meskipun banayak yang menganggap bahwa elemen ketuhanan perempuan itu merupakan konsep yang memberi inspirasi bagi perempuan kontemporer, sebagian lainnya memperlihatkan kehati-hatiannya dalam identifikasi tersebut. Misalnya pendapat Plaskow tentang penggambaran ulang Tuhan laki-laki transenden ke dalam bentuk feminin lewat pemikiran mistisisme merupakan koreksi penting, metafor perempuan itu sangat menguntungkan dan kekal ketika berlawanan dengan konteks patriarkis yang asli (Plaslow, Standing Again at Sinai, hlm. 38).
Kemudian adanya upaya feminis dalam pemaknaan terhadap yang suci (sacred) yang tidak hanya berupaya menentang pencitraan androsentrisme dalam pengertian substitusioner atau kontributif murni, melainkan juga mentransformasikan konsep patriarkal pada tingkat akar-akarnya. Misalnya disini Sallie McFague dalam Modes of God: Theloogy for an Ecological Nuclear Age (1987) dia menolak yang transenden, Tuhan patriarki yang hierarkis dan mendukung suatu keutuhan imanen yang terdapat dalam kesejahteraan dunia. Ini dia contohkan dengan model-modelnya tentang Tuhan Ibu, pengasih dan usahanya untuk mengombinsaikan metafor perempuan dan pencitraan non gender yang keduanya menegaskan pengakuanya atas pengalaman perempuan. Untuk mencapai penafsiran yang lebih komprehensif tentang ketuhanan, bahasa Tuhan, feminis bergerak dari dekonstruksi pencitraan perempuan menuju pencitraan perempuan non gender yang mengungkapkan keakraban, persekutuan dan mutualitas antara manusia dan Tuhan.
Reinterpretasi feminis terhadap teks-teks keagamaan juga dipenuhi dengan warisan simbol dan image. Pembacaan terhadap literatur suci dalam agama-agama, tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, melainkan juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretatif yang dengannnya muatannya itu dipahami sebagai hal yang normatif.
Karakteristik pendekatan feminis yang sering terlihat adalah dalam konteks sejarah agama itu sendiri, dimana kalangan feminis telah menemukan kembali sejarah keagamaan perempuan. Menyadari problem-problem yang terdapat dalam upaya penemuan kembali yang lebih memfokuskan pada tokoh perempuan dalam sejarah ketimbang pengalaman perempuan biasa. Dimana mereka berusaha untuk memperbaiki jarak penglihatan historis dengan menujukkan tidak hanya perempuan suci saja tetapi juga perempuan awam religius yang mempunyai peran spiritual dalam konteks historis. Penelitian semacam ini memeperdalam pemahaman tentang praktik-praktik keagamaan dan dalam beberapa hal mendorong pengujian kembali secara serius terhadap kategori-kategori dan konsep-konsep yang diasumsikan secara historis.
Perkembangan teoritis belakangan dalam studi keagamaan perempuan menujukkan bahwa disamping mencari asal status inspirasional seluruh perempuan masa lampau, juga memunculkan pertanyaan mengenai dinamika historis agama, gender dan kekuasaan. Perempuan mungkin tidak pernah menjadi pembentuk formatif yang mula-mula tentang hubungan agama budaya, tetapi ketika menyetujui ideologi-ideologi yang ada baik penolakan maupun kesetujuan telah memunculkan banyak respon.
Dalam beberapa hal ketika feminisme menunjukkan komitmen utama pada perlakuan secara adil terhadap perempuan dan menyerukan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kolaboratif dan egalitarian maka sesungguhnya ini merupakan proyek etis. Etika feminis kembali menyatakan hubungan antara teori dan praktik keagamaan dengan menegaskan bahwa antara refleksi moral privat, dan agen moral public saling terkait secara intrinsik.

D. Analisa terhadap Pendekatan Feminisme.
Pencarian feminis terhadap jalan keluar yang diperoleh kembali melalui bahasa sacred, literatur, dan sejarah telah memungkinkan terjadinya suatu dialog yang saling menguntungkan antara feminisme dan agama. Kedudukan tradisi keagamaan dalam kritik feminis dihargai sejajar dengan kehendak tradisi itu dalam merespon pertanyaan-pertanyaan kontemporer dengan penuh makna. Rekontruksi feminis bahkan tidak hanya berhenti pada refleksi teoritis, tetapi bahkan berusaha memajukan dan terlibat dalam perubahan praktis. Perspektif feminis, semenjak kelahirannya dicirikan dengan identifikasi terbuka terhadap teori dan aksi, mengevaluasi otentitas kebenaran keagamaan dengan melihat kemampuannya dalam mempengaruhi transformasi sosial dan politik.
Sebagai sebuah cara atau pedekatan terhadap agama, sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya, perspektif feminis dihadapkan pada kebutuhan mengukuhkan suatu kerangka kerja teoretis yang solid guna terselenggaranya dialog antar iman dan antarbudaya. Akan tetapi semangat feminisme juga telah memunculkan suara perempuan dari seluruh dunia, dan bagi kalangan akademik feminsme kontemporer juga memunculkan tantangan metodologis terhadap kajian mereka, yang menuntut suau perkembangan konsep analitis kunci untuk menggabungkan pengalaman perempuan yang khas dari setiap tradisi atau pemaknaan agama.
Kebutuhan seluruh feminis untuk mengemukakan konsep teoretis tentang perbedaan dipertajam fokusnya oleh para feminis kontemporer. Perbedaan di sini tidak seperti dirumuskan secara tradisional dengan antagonisme laki-laki-perempuan, tetapi suatu pengakuan terhadap perbedaan yang terdapat di antara perempuan itu sendiri. Perbedaan dalam memaknai pengalaman perempuan menimbulkan persoalan dalam kategori tentang perempuan yang dalam tahap tertentu tidak memungkinkan mengabsolutkan pikiran feminisme itu sendiri. Hal ini mengakibatkan terjadinya sikap kultur imperialistik seperti anti Yahudi pada kalangan Feminis Kristen, atau pengutukan Feminis Barat terhadap perempuan Muslim berjilbab. Memprioritaskan perbedaan sebagai diversitas pengalaman perempuan dari sudut pandang ras, usia, orientasi seksual, agama, etnisitas atau status ekonomis mengharuskan suatu penyesuaian pemahaman kembali terhadap patriarki. Karena perempuan dapat menunjukkan bentuk-bentuk kekhasan budaya.
Persoalam pluralitas budaya dan ras kemudian menghasilkan struktur pengetahuan keagamaan yang sangat subjektif. Semenjak usaha dekonstruksi terhadap androsentrisme-patriarkal, kekuatan feminisme sesungguhnya terletak dalam kerjasamanya dengan konsep postmodern di mana metode penciptaan pengetahuan sama signfikannya dengan muatan aktual pengetahuan itu sendiri. Dekonstruksi terhadap teks-teks dan simbol-simbol patriarkal telah menjadikan feminis religius bersikap waspada terhadap pembatasan-pembatasan penyampaian kebenaran berdasarkan pada gender, namun karena perdebatan tentang perbedaan dapat dimengerti dengan jelas. Sebagai suatu koreksi penyeimbang terhadap studi-studi agama yang berpusat pada laki-laki, analisis feminis selanjutnya dimodifikasi dengan tumbuhnya perhatian kritisisme diri terhadap kelas, ras dan daerah tertentu. Sehingga pada akhirnya feminisme dapat memprioritaskan perbedaan dan menentang karakter monolitik pengalaman perempuan itu sendiri.
Dalam perkembangannya, menurut David Tracy pendekatan feminis modern melambangkan dilema intelektual bagaimana mendamaikan konteks historis, sosial budaya dengan klaim-klaim universal yang disandarkan pada Tuhan. Disamping desakan intelektual pendekatan feminis tetap berupaya mengukuhkan prinsip-prinsip umum transformasi keagamaan yang didasarkan pada tntutan universal atas keadilan dan pembebasan.
Perdebatan selanjutnya muncul dalam feminis religius yang juga sangat terkait dengan persoalan pluralitas etnik dan kebudayaan adalah persoalan separatisme feminsme. Dalam penolakannya terhadap agama tradisional feminis radikal, seperti Mary Daly sebagai tokoh utamanya mendorong perempuan agar melampui batas-batas masyarakat patriarkal dan menciptakan suatu dunia alternatif yang berpusat pada perempuan dan terbebas dari laki-laki. Hal ini tidak tanpa kritik, dimana feminis etis mempertanyakan separatisme dalam feminis religius dan ini menimbulkan masalah baru dimana muncul rasisme dan kegagalan dalam memahami laki-laki dan perbedaan etnis dalam perempuan sendiri.
Dari sudut pandang intelektual, separatisme yang berpusat pada perempuan ditentang oleh kalangan sarjana modern dalam menanggulangi polarisasi identitas perempuan dan laki-laki serta mengusulkan sebuah setrategi yang lebih holistik dengan berfokus pada gender. Hingga akhir ini, analisis gender hampir semata-mata terkait dengan perempuan. Meski demikian, salah satu dari dua tahap kerja yakni dekonstruktif dan rekonstruktif, telah membawa feminis kedalam tahap baru. Dimana mereka berusaha mengkontruksi sistem gender yang lebih inklusif dan mengakui interrelasi antara identitas perempuan dan laki-laki sebagai pusat analitis teoritis. Seperti komentar, Carr “konsep gender mengingatkan kita bahwa pengalaman perempuan telah dan selalu dalam kaitan dengan laki-laki dalam seluruh masyarakat manusia”
Disinilah sebuah pendekatan feminisme dengan perspektif gender yang lebih inklusif dan terbuka mampu melihat dirinya dalam dimensi agama, dan nantinya sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial budayanya. Sehingga feminisme menjadi lebih progresif dan mampu menyambut berbagai pandangan lainnya yang mungkin bersebrangan dan mampu menunjukkan dimensi dan kekhasan dalam mode pendekatan yang ditawarkannya, kritis transformatif.


E. Kesimpulan.
Sebagai sebuah pendekatan yang tergolong baru di dunia keagamaan, tentu feminisme mempunyai kelebihan dan juga kekurangan dalam setiap usahanya mendekati dan memaknai agama ataupun unsur-unsur yang ada di dalamnya. Feminisme sendiri bukanlah sebuah fenomena tuggal tentang konsep perempuan ataupun gender, tetapi dalam perkembangannya feminisme menjelma dalam spektrum yang lebih luas di bidang sosial, politik dan kebudayaan dan tentu juga agama. Feminisme dengan semangat perspektif gender telah melakuakan transformasi kritis terhadap konsep keagamaan.
Studi agama yang dilakukan kaum feminis telah membongkar realitas sekisme dalam setiap kajian keagamaan dan teologis. Dalam suatu rangkaian pendekatan, keahlian dekonstruksi yang diasah feminis telah menundukkan simbolisme keagamaan, bahasa, literatur, sejarah dan doktrin pada penelitian kritis dan holistik. Hal ini diakui atau tidak telah mampu membangunkan kesadaran kaum perempuan yang sebelumnya terlelap dalam dominasi patriarkal keagamaan. Dan akhirnya perempuan mampu menunjukkan perspektifnya dalam agama sekaligus mendapatkan perlakuan yang semestinya dalam agama, yang hal itu sangat berpengaruh dalam peran mereka dalam kehdupan social, politik dan kebudayaan.
Sebagai sebuah teori dan paham yang lebih khusus, Feminis religius mencerminkan sejumlah concern yang secara tipikal didefinsikan sebagai postmodernis, memaksakan kesadaran akan perlunya kajian yang dikondisikan secara sosial dan historis, kritisisme diri, dan perlawanan terhadap dominasi teori-teori besar sebelumnya. Disini menunjukkan bahwa pendekatan feminis tidak berhenti dalam kepuasan, tetapi akan terus mencari dan menjunjung kebenaran dan keadilan dalam kehidupan keagamaan. Karena tantangan tidak hanya datang dari luar tetapi kalangan feminis pun mempunyai perbedaan faham dan kecenderungan yang berbeda,
Sebagai hasilnya pendekatan feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks prulalis kontemporer.

Label:

Relevance and Necessity of the Mysticism
In the Modern World
­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­_______________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
By: Muhammad Abduh Ali Saputra
NIM: 410601004
Abstraction
“Growing century has arrived, modern technology progressively expanded. Who cannot pursue growth mean static and undeveloped as old fashion. This is statement which fishing us fall to plunge into bargain of Modernism. This is a symbol of progress sign but modernism also represents diffident sign. Development in so many areas was happen, from economic area until technological area. This situation have making us forget who are us in fact? A Modern human was perceive their self as human itself and forgot their spiritual unsure and just consent on their humanism. In reality, modernism more and more day brings our self enclosed up with growth of technology. More effect, understanding of spiritually aspect will be replaced with understanding of all earthly wish modernly. Materialism principle was fulfilling mind brain, discharging religion control. Modern society increasingly deify existence of science, hence our likely reside at marginal region which was losing Divinity vision. This matter makes us more and more heaviness and barren heart by World, effect of don't have hold of life and far to their origin, their Divine aspect”

A. Preface
That abstraction is an image which indicating that modern world have brought human being into detached of spirit. Progress of technology and various materialism views have entered into human being itself. A Modern human was perceive their self as human itself and forgot their spiritual unsure and just consent on their humanism. More effect, understanding of spiritually aspect will be replaced with understanding of all earthly wish modernly. Materialism principle was fulfilling mind brain, discharging religion control. Will this situation still going on without spirituality control? Of course not!!!!. Mysticism which the traditional doctrine and spirituality of Divinity projected can become stability tool of that situation.
However, how does mysticism communicate with modernism? Will mysticism can and relevant with progress of modern world? Or even mysticism becomes a compulsion or necessity in this modern world? These are questions which trying to be answered in this handing out. Of course becoming question hereinafter is which is mysticism? Because it’s many pattern of mysticism which exactly far from the Divinity and aspect of traditional doctrines. 1 They are only presenting social piously, without touching aspect of spiritual. How mysticism realizes in this modern world? This also becomes discussion in this paper.

A. Searching significance of Mysticism in answering modernity.
Today Sufism is a name without a reality. It was once a reality without a name. (Abu Hasan Fushanji in Tenth century). Now the name exists without reality. 2 This is statement a middle ages one of Sufi, depicting by then, Sufi have far from its reality. Or become phenomenon of social took a fancy to many people however far from content and meaning of spiritualities.
What is going on modern world, more or less is equal to that situation, even more hardly. Modern world which is really expanding has closed spiritual eyes of human being. As early, modern have snatch the Divine side exist of Human. Mysticism or how they name it, have many wrong interpreted. Even was destroyed with practices of Sufism which there's only on the surface of without touching spirituality aspect. This matter there is mistake in meaning and expressing Mysticism, as F. Schuon in his article;
“Men of modern culture are no longer accustomed to think in terms of symbols and so modern investigations are unable to distinguish between what, in two analogous traditional expressions, belongs to the external form and what is the essential element, and for that very reason the Modern people is led to see borrowings by one tradition from another where in fact there is only a coincide of spiritual vision, and fundamental divergences where it is only a question of differences in perspective or in mode of expression.” (Frithjof Schuon, The Transendent Unity of religions. (2nd ed.) Harper and Row, New York. 1975)
The modern man problems were signed by their misunderstanding to the traditional and forgetting the transcendent aspect of life. They views that any contradicting in Sufism. To do this does not involve contradicting in any way the point of view inherent Sufism, for Sufism has always recognized the principle according to which the divine revelation. 3
To the problems caused by forgetting of the transcendent dimension of life by modern man, by the imprisonment of his being in the cage of the material world and by the limiting of his horizon to a purely corporeal one, Sufism answer by recalling the truth that man was made for immortality and his intelligence was created to grasp the Absolute. Hence no mortal existence, no matter how can satisfy his soul. To the problems of the pathetic lot of modern, secularized man, Sufism would answer by pointing out that man has become miserable only because he no longer knows who he s; and the modern sciences of man as they are usually thought do not aid him one iota in discovering his true identity. One the positive side the very doctrines and methods of Sufism can act as criteria for judging all that passes in the Modern world for “way of realization”; at least for those a discerning spirit. 4
Since Sufism is a tradition that is the transmission of wisdom divine in origin there is both a perpetuation in time and a continual renewal by contact with the source which lies outside time. Every traditional doctrine is by definition immutable in essence but its formulation may be renewed within the framework of the given “conceptual style” in relation to different possible modes of intuition and according to human circumstances.
So in here, Sufism or Mysticism was become progressively as far as modernity. The truly mysticism was not related with time it self but its expanding as far as human able to expression the traditional doctrine and Divine revelation in their life as origin. For that reason, some of Truly Sufis was formulated some theory about Sufism. Simply they derived Sufism to two aspects. Firstly is doctrine and secondly is method. Doctrine is Divine doctrine with mukasyafah unveiling, or metaphysics truth as mode of understanding to comprehension to God. Method is mode of being which contemplative truth by express the doctrine to permanent concentration of the Absolute. Method also derived to spiritual virtue and beauty. Both are two things in the spiritual life, on of them internal as inward space of soul and other external as environment which exists around us. 5

B. Social Virtuous becomes Phenomenon in Modern World.
After we identify how Mysticism can answered modernity with various argument and their doctrine of truth. In other side, especially in social aspect was happened practice and understanding of mistaken Sufism in modern era. They have incorrect in meaning spirituality, so that they are fascinated only in pious of social aspect. They become profane man of modern which try plop down in domain of spirituality of Mysticism without seeing how Sufism in method and doctrine.
Spirituality is a matter of reunion with God and this reunion may be seen as a movement from where we are to where we should be. Considered from the perspective of Gnosis, it is a progress or journey toward the Truth _from the illusions of the ego through the intellect toward the Supreme Reality. 6 Much of modern people were extended their ego, with their existentialism. They argue that they are thinking so they are existing Man. Modern man just view the celestial world as matter form without terrestrial spirit. They as human being were seeing their life in this world, without seeing their spiritual aspect. They are unable to see the Reality.
Even, now was happened some people in modern era was claimed that their self as spiritually man. They perceived that spirituality can be obtained without religion. Are they right? It’s become a seriously problem. Mysticism tradition of revelation and Divinity was existed just on Religions. In its universal understanding, Mysticism include mystique dimension from all religion. Religion was supposing a tree which its roots in the form of religious practice. The Tree bough is mysticism and its fruit is truth. And whole mysticism has the same target that is experience of direct to the Divine. “Conforming to God”
The profane man in modern era are conscious of only a small part of his own soul, and since whole substance has to be discovered, mystical practices often lead first of all to experience which are not spiritual but only physics, how ever strange and even wonderful they may seem. The greatest danger is that individual consciousness should be considered as the Supreme Self, and that the whole doctrine, together with the traditionally recorded experiences of the saints, should be complacently interpreted as a confirmation and a nourishing for this worst of all self-deceptions
The intellectual essence of Sufism makes imprints even on the purely human aspect of the way which may in practice concede with the religious virtues. In the Sufi perspective the virtue are nothing other than human images or subjective traces’ of universal truth. 7
To counter this phenomenon, its must cleared that spiritual virtue is not necessarily a social virtue in a direct sense, and the external manifestation of one and the same virtue by different according to the point of view of the circumstances. It’s different in mode of expression. In such a Sufi the affirmation of his person is in reality only a submission to the impersonal truth he incarnates; his humility lies in his extinction in an aspect of glory which is not his own. The spiritual virtue are as it were supports in man for the Divine truth, they are also reflection of that truth.

C. The Realization of Mysticism in Modern World
Hereinafter, after we discerned problem in modern man, here I will stretch out open two expression of Mysticism able to answer their problems after. Both are as exclusiveness and inclusiveness expressions. These represent an analysis to realization Mysticism in modern world. How are their form and nature of mysticism?
Sufism is central, exalted, profound and mysterious; it is inexorable, exacting, powerful, dangerous, aloof and necessary. Exclusiveness in sacred, In excluding the profane, as the sacred does by definition; Sufism does not exclude only atheism and agnostics but also and exotericism which claim to be self-sufficient and to comprise within its narrow compass all that is required of man by way of response to the divine revelation. As martin Lings said that “Sufism is powerful because it is no less than the Divine Means of the all-overwhelming triumph of the Absolute” 8.
This is the exclusiveness mode of Mysticism expression, which prohibit to atheism and agnostics to join with method or practical Mysticism. As we know that in modern era was much people were become atheism and agnostics, but some of them was claimed they are have spiritual. On my opinion it’s just kidding and nonsense. So in journey of Sufism, one must seriously comprehension to Divinity, know the Reality and must study about Truth Doctrine of Sufism if they are beginner or lay person.
Much modern people who claiming to be Sufis, maintain that Sufism is independent of any particular religion and that it has always existed, they unwittingly reduce it to network of artificial inland waterways.
Sufism has right to be inexorable because it is base on certainties, not on opinions. It has the obligation to be inexorable because mysticism is the sole repository of Truth in the fullest sense, being concerned above all with the Absolute, the Infinite and the Eternal, and we salt have a lost his savior, where with shall it be salted? Without mysticism, reality would have no voice in the world. There would be no record of the true hierarchy, and no witness that it is continually being violated. 9
The other mode of expression of Mysticism is a called especially as Sufism. According Martin Lings, “Sufism is nothing other than Islamic Mysticism, which means that it is the central and most powerful current of that tidal wave which constitutes the revelation of Islam and it will be clear from what has just been said that to affirm this is in no sense depreciation, as some appear to think. It is on the contrary an affirmation that Sufism is both authentic and effectual” 10
In other words, by being totally dependent upon one particular revelation, Sufism is totally independent of everything else. But while being self-sufficient it can, if time and place concur, pluck flowers from gardens other than its own. “Seek knowledge even if it be in china” It becomes an inside inclusiveness expression of Islam especially for Sufism. So in this modern era, people can get their truth by take a Sufis path, because the path which truly Sufism will bring them to Spirituality and to the Absolute.
Mysticism by mode of expressions, It’s should be can be realized in this modern world, because this expression is independently from time and space. Sufism with tradition that is the transmission of wisdom divine in origin there is both a perpetuation in time and a continual renewal by contact with the source which lies outside time. Every traditional doctrine is by definition immutable in essence but its formulation may be renewed within the framework of the given “conceptual style” in relation to different possible modes of intuition and according to human circumstances.

D. Conclusion
Every form of mysticism begins with a quest for the ‘primordial state’, since this state means human perfection which is the only basis for the spiritual ascent. What distinguished Islamic Mysticism from many others is that it looks for its ideal to man as he was created, that is, to a perfection which would accord with the Earthly Paradise. Therefore modern man should be take a path of Sufism to rediscovery their origin and finding one Reality in this world.
Mysticism becomes necessity at this modern world. With doctrine and method of Sufism, its very closed with Divinity has signed human being to return to their origin. Very important here is when mysticism can be expressed without engagement by time. By mode of expression of Mysticism can be accepted by human being whenever and anywhere, as long as him aware of the Divinity in their self and totally consciousness to the Absolute
Last, here I wish to cite word of Schuon that “Metaphysical knowledge is sacred. It is right of sacred things to required of man all that he is” Mysticism is one of Metaphysical aspect which sacred things to required human being of this modern era to rediscovery the Origin and reunion with God. But it’s very seriously and need a totally consciousness to the Divine. Therefore; “Take Sufism as it most truly and most deeply is, or leave it”



Bibliography
1. Burckhardt, Titus. An Introduction to Sufism. Translated by: I.M. Matheson. Wellingborough: Thorsons. 1976
2. Lings, Martin. What is Sufisme. Unwin Paperback. London: 1981
3. Nasr, Sayyed Husen. Sufis Essays. ABC International Group. USA. 1991
4. Schuon, Frithjof. Understanding Islam. World Wisdom. Indiana. 1998
5. Toriquddin. Moh. Sekularitas Tasawuf; Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern. UIN Malang Press. Malang: 2008
6. Lecturer Books. Chapter 8. Conforming to God. Page 55-66



Muhammad Abduh Ali Saputra

Serpong, 14 Mei 2009

Label:

Mendobrak Pintu Rasionalisme
Ala “Harun Nasution”

Abstraksi.
“Meskipun pemikiran keagamaan bisa aja bermula dari renungan perorangan, tetapi sebagai gejala “sejarah intelektual” kesemuanya baru berarti dalam konteks komunitas islam. Bukan pemikiran per se yang menjadi sasaran utama, tetapi pemikiran keagamaan yang telah terlibat dalam proses dialog dengan komunitas yang merupakan konteks kehadirannya. Jadi, meskipun bertolak dari wacana keagamaan yang bercorak “elitis” (hanya sekelompok kecil yang terlibat langsung), perhatian utama harus diarahkan pada situasi sosio-kultural, yang sekaligus menjadi wadah dari proses pemikiran dan diskursus keagamaan serta suasana yang ikut diciptakannya”

Pendahuluan.
Indonesia pantas berbangga, karena adanya seorang pemikir yang telah berusaha dan bisa dikatakan berhasil membangunkan masyarakat Indonesia dari tidur panjang kemunduran intelektual. Dialah Harun Nasution, seorang yang menurut saya adalah sosok yang dengan gebrakannya mampu mengangkat kesadaran intelektualisme bangsa Indonesia. Dengan neo-rasionalisme yang ditawarkannya, ia berusaha mendobrak pintu keterpurukan intelektual yang sedang mendera sebagian besar masyarakat Indonesia.
Karena alasan dan kekaguman saya itulah, dalam makalah singkat ini, akan mencoba untuk mengangkat “sejarah intelektual” seorang Harun Nasution. Bagaimana sebenarnya pemikirannya tumbuh dan berkembang serta memberi pengaruh yang cukup kuat di dunia pendidikan khususnya. Karena bagaimanapun juga, pemikiran itu tumbuh tidak hanya dari perenungan semata, tetapi juga adanya kondisi lingkungan yang turut menciptakan pemikiran tersebut. Bagaimana pandangannya tentang kondisi intelektual masyarakat Indonesia, dan apakah sebenarnya yang ditawarkan Harun dengan rasionalisme-nya, dan bagaimana sebenarnya gebrakan yang dilakukannya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berusaha akan dijawab untuk menunjukkan seberapa besar peranan Harun Nasution dalam usahanya mendobrak pintu rasionalitas tersebut. Atau paling tidak akan terlihat pengaruhnya pada situasi sosio-kultural dan sekaligus menjadi wadah dari proses pemikiran dan diskursus keagamaan serta suasana yang ikut diciptakannya selanjutnya.
Sebagai pemikir dari salah satu generasi pemikir Indonesia, Harun Nasution termasuk pada garis paradigma atau genre pemikran kontemporer. Pada periode terdahulu, yaitu periode pasca kolonial atau sebelum itu, watak pemikiran ke-indonesiaan merupakan refleksi perlawanan terhadap penjajahan, khususnya penjajahan fisik melalui represi militer dan politik. Di masa generasi Harun Nasution, pemikiran ini bergerak melalui pencarian makna akan realitas dan modus baru bagi kehidupan bangsa Indonesia, tertutama bagi pendidikan umat Islam.
Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Sebagai contoh, di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.
Itulah beberapa “thesis statement” yang menjadi pembicaraan dalam makalah singkat ini. Dalam pendahuluan, akan dibahas biografi intelektual secara singkat dan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia pada zaman itu. Kemudian pada inti makalah, saya akan berusaha menunjukkan beberapa pemikiran rasionalitas Harun Nasution, khususnya dalam pemikiran keislaman dan teologi, yang menurutnya adalah menjadi tema sentral yang menetukan cara pandang dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Dan hal itu tentu saja dapat tercipta dengan sepak terjangnya dalam sebuah gebrakan teologis dan gebrakan praktis akademis. Dan apakah ini berhasil? Dan terakhir adalah bagian penutup. Pada bagian ini, pemakalah akan berusaha mengambil sikap dalam melihat bagaimana sebenarnya pemikiran yang ditawarkan Harun Nasution dalam konteks keislaman dan keindonesiaan serta mencoba memberikan beberapa kritik ataupun dukungan terhadap pemikiran dan capaiannya.

A. Biografi Intelektual.1
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiatar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 23 September 1919. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki Jabatan Qadi, penghulu, kepala agama dan Imam masjid. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putri ulama asal Mandailing, dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai berbahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.
Pendidikan sebagai hal terpenting dalam kehidupannya, ditempuh Harun dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS) selama 7 tahun, dan dalam masa itu dia berkesempatan memepelajari Bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan Umum. Setelah itu ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) selama tiga tahun. Dan setelah itu dia meneruskan ke MULO, dan sejak itulah Harun mulai tertarik mempelajari Islam, karena sangat modern di tangan pengajar seperti, Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek. Dan sejak itulah pengaruh pendidikannya ini akan menjadi titik awal sebuah pemikiran Harun yang lebih rasional.
Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Mekkah, tetapi Nasution merasa tidak mendapat apa yang diinginkanya dan akhirnya pada tahun 1938 ia memutuskan untuk pergi ke Mesir. Disana harun kuliah di fakultas Ushuluddin pada Universitas Al Azhar dan mencoba mendalami Islam. Akan tetapi ketidakpuasan kembali menyelimutinya, dan akhirnya dia pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo. Di universitas ini Harun tidak mempelajari Islam, melainkan ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Sehingga pada akhirnya tahun 1952 Harun mendapatakan gelar BA dalam bidang Sosial Studies dengan nilai sangat memuaskan. Dari sinilah Harun mulai menyadari lebih jauh tentang konsep keindonesiaan khususnya di bidang sosial, masalah perburuhan. Ini juga sangat dipengaruhi oleh organisasi yang diikiutinya, yaitu PERPINDOM (perhimpunan Pelajar Indonesia dan malaysia).
Dalam karir kehidupan kerjanya, dengan kemampuan berbahasa Arab, Inggris dan Belanda, ia diangkat sebagai pegawai di Konsulat Indonesia di Mesir. Dan beberapa tahun kemudian, Ia dipanggil pulang untuk bekerja di Departement Luar Negeri Jakarta, hingga akhirnya ia ditempatkan di Brusel Belgia, sebagai sekertaris Kedubes. Pada waktu itulah, sedang terjadi gejolak politik di Indonesia, yang membuat Nasution dalam posisi yang kurang diuntungkan. Ia dituduh sebagai pendukung atau simpatisan bagi kelompok pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Selain itu sikap anti PKI dan anti Soekarno menyebabkan ia berhenti dari karier diplomatiK. Bahkan ia masuk daftar hitam dan dicekal tidak boleh kembali ke Indonesia dan bahkan Mesir.
Akan tetapi, setelah beberapa tahun, Harun Nasution dapat kembali ke Mesir dan meneruskan studinya di Sekolah Tinggi Studi Islam dibawah asuhan Muhammad bin Abi Zahrah. Pada kesempatan kedua inilah, pada tahun 1962 Harun mendapatkan tawaran dari HM Rasyidi untuk Studi Islam di McGill University, Monteral, Kanada. Selama di McGill, Harun tidak menyia-nyiakannya dan disana Ia mengambil konsentrasi kajian tentang “Modernisme dalam Islam”. Dalam thesisnya dia menulis mengenai “The Islamic State in Indonesia: The rise of Ideologi, the Movement for its Creation and the Theory of Masyumi”. Setelah itu, Ia melanjutkan studinya untuk memperoleh PhD, dan menyelesaikannya dengan disertasi di bidang ilmu Kalam (Theologi) dengan judul “the Place of Reason in Abduhs, Its Impact on His Theological System and Views” yaitu kedudukan akal dalam Teologi Muhammad Abduh, pengaruhnya pada Sistem dan pendapat-pendapat Teologinya pada tahun 1968. Setelah meraih gelar doktor, Harun Nasution kembali ke Indonesia dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam di Indonesia melalui Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Walaupun ia berada di luar negeri, Harun selalu mengikuti perkembangan di tanah air. Ia berpendapat bahwa masyarakat Muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya teologi Ahl Sunnah dan Ash’ariyah harus bertanggung jawab atas kemandegan ini, yang menyebabkan kaum muslim berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prsyarat pembangunan umat. Inilah mengapa Harun Nasution ingin mengubah pandangan fatalistik menuju pandangan yang lebih dinamis, rasional dan modern. Dan untuk mewujudkan tujuannya ini, harun memilih dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Walaupun pada awalnya, kehadiran Nasution belum bisa diterima sepenuhnya oleh kalangan akademis tetapi dia tetap yakin mampu merubah paradigma yang salah di IAIN. Dan pada akhirnya, ia diangkat menjadi Rektor, dan mungkin ini tidak lepas dari peran seorang Mukti Ali yang juga lulusan McGill dan berpandangan yang terbuka. Hal ini menjadikan Harun lebih leluasa dalam menyebarkan ide-ide penmbaharuannya. Dan pada tahun 1984 Harun Nasution dipercaya sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif hidayatullah Jakarta hingga akhir hayatnya. Dan berkat kesungguhannya dalam mengelola Pasca-sarjana inilah, telah lahir ratusan doctor dalam bidang ilmu agama Islam yang kini mempunyai pengaruh yang cukup signifikan di Indonesia.
Ditengah-tengah kesibukannya memberi kuliah dan memimpin UIN Jakarta, Harun Nasution juga tercatat produktiff dalam bidang karya ilmiyah. Diantara karya-karyanya adalah; Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Pembaruan dalam islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan, Filsafat Agama, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Teologi Islam; aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, dan yang buku yang berasal dari disertasinya sendiri yaitu Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Saya rasa dari buku-buku inilah kita dapat melihat lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran harun Nasution. Akan tetapi dalam makalah ini akan berusaha memfokuskan dalam pandangan teologi dan pemikiran rasionalnya. Yaitu kajian terhadap dua bukunya; Muhammad Abduh dan Teologi Rasional dan buku Islam Rasional.

B. Pendekatan Akademik dan Pemikiran Rasionalnya
Harun Nasution menjalani kegiatan akademiknya dalam atmosfir keilmuan yang amat berbeda, sehingga langkah-langkah revolusionernya sangat bertentangan dengan tren umum yang berlaku pada masanya. Dia berusaha menghentikan model pemikiran lama agar bisa memberi jalan bagi berkembangnya model pemikiran prulalis serta mendorong munculnya pemikiran pribadi yang bebas. Dia menentang supremasi pemikiran keagamaan yang secara tradisional berada di bawah kekuasaan tokoh-tokoh tertentu, seperti kyai dan ulama. Dia pernah menyatakan bahwa ilmu agama tidak boleh didasarkan pada wahyu, tetapi juga pada fakta sejarah dan penafsiran budaya. 2
Dalam pandangan Nasution, Islam dapat diklasifikasikan menjadi aspek doktrinal dan nondoktrinal. Jika aspek doktrinal dari Islam berkenaan dengan masalah pokok-pokok keyakinan dan kewajiban menjalankan ritual, maka aspek non-doktrinal mencakup seluruh produk Islam historis. Namun, aspek doktrinal tersebut, menurutnya masih dibedakan antara yang fundamental, yaitu terkait dengan ajaran Al Qur’an dan Hadis, sedangkan yang non fundamental yaitu yang terkait dengan interpretasi dari doktrin itu sendiri yang mengarah kepada perkembangan aliran pemikiran atau mahzab yang berbeda-beda. 3 Mungkin hal ini sudah tidak asing lagi bagi kalangan akademik sekarang, akan tetapi jika kita lihat masa itu, maka akan sangat berbeda. Bahkan pembedaan itu masih tertutup dikalangan salaf tradisional konservatif.
Jika kita lihat posisi Nasution dalam kehidupan akademik maupun corak pemikirannya, maka akan sangat berbeda dengan para pemikir semasanya, seperti Ahmad Dahlan, Agus Salim dan Muhammad Natsir. Para tokoh yang terakhir ini adalah mereka yang terkait langsung dengan gerakan pembaruan, baik dalam bentuk organisasi sosial maupun partai politik Islam. Walaupun mereka boleh dibilang terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh, akan tetapi tentu cara mereka menanggapinya berbeda dengan Nasution. Kebanyakan mereka belajar dengan bimbingan seorang tutor ataupun otodidak, sedangkan Nasution mempelajari Islam sebagai kajian murni akademik. Hal ini bisa dimaklumi, karena mereka selalu berbenturan dengan persoalan masyarakat disekitarnya, sehingga mereka harus terlibat langsung dalam gerakan praktis pembaruan dan berusaha menggelorakan semangat pembaruan itu sendiri. Bahkan kajian Islam yang murni belum menjadi tuntutan bagi umat muslim Indonesia pada waktu itu.
Sebaliknya, Nasution mengambil jalan lain dengan arus yang berbeda dari para pembaharu lainnya. Ia lebih memfokuskan perhatiannya pada kajian intelektual di lingkungan dunia akademik. Dia yakin bahwa dalam rangka memperbaiki kajian keislaman di Indonesia, gerakan dan gebrakannya mampu “berbicara” dan hal ini berbeda dengan para tokoh reformis lainnya. Pada dasarnya Nasution lebih terbuka terhadap berbagai pandangan yang berbeda-beda, sehingga audiennya dapat menentukan sendiri pilihan mereka. Berbeda dengan tokoh lainnya, misalnya HM Rasyidi, yang meskipun bisa dikatakan terbuka tetapi kalau dilihat lebih jauh dia berusaha mengarahkan audiennya di dalam menentukan pilihan mereka.4 Disinilah letak kebebasan yang ditawarkan Nasution, dan ini yang menjadikan cirri pendekatan akademik yang ditawarkannya, sebuah kebebasan dalam berpikir dan mengambil sikap tanpa paksaan.
Dalam hal ini, Nasution kelihatannya yakin akan kapasitas intelelektual pembacanya dalam memahami kebenaran yang ditawarkannya. Bukan berarti, dia tidak memperhatikan aspek keimanan para pembaca pikirannya, tetapi dia percaya bahwa umat Islam akan dapat mencapai kematangan intelektualnya dalam mengambil sikap yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dia mengambil tempat di dunia akademik, terutama di kalangan IAIN yang menurutnya adalah kalangan yang siap dan menjadi kunci pembaharuan Islam di Indonesia. Disini Nasution sengaja membiarkan pembacanya untuk menelaah secara mandiri baik dari sisi positif dan negatif dari sejarah Islam.
Pandangan-pandangan Nasution untuk mendorong pembaruan suasana akademik di IAIN secara subtansial telah dirumuskan di dalam karyanya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Melalui karya ini, Nasution menyajikan Islam dalam perspektif yang lebih luas, meliputi banyak aspek. Islam bukan hanya fikih, tauhid, tafsir dan akhlak. Islam bisa dikaji dari berbagai aspek seperti sejarah, budaya, filsafat, tasawuf, teologi, hokum, institusi dan politik. Namun, dia menegaskan bahwa Islam tetap satu. Menurutnya, para ulamalah yang menjadikannya bermacam-macam, padahal tidak mungkin orang bisa memahami hakikat Islam yang sebenarnya seperti yang diamaksudkan Tuhan. Sebagai buku diktat, buku tersebut dimaksudkan untuk menelaah ajaran pokok Islam dalam perspektif sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Dengan pendekatan seperti itu, diharapkan penyajiannya lebih komperhensif terhadap doktrin Islam dan juga menggunakan metode yang benar di dalam memahaminya. Nasution menggunakan pendekatan ini untuk menghilangkan fanatisme mahzab dan memahami dalam konteks sosiologis dan historisnya. Bahkan dia sering menyerukan untuk menyatakan pandangan secara bebas dan bahkan dengan ungkapan yang lebih ekstrim, bahwa masih dmungkinkan untuk mendirikan mahzab baru selama ia memiliki landasan yang kuat.
Dalam melihat pemikiran rasionalnya, kita dapat melihat dalam karya utamanya yaitu Teologi Islam dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Isi pokok kedua karya ini merupakan bagian dari disertasi Nasution tentang pemikiran teologi Abduh yang ditulis 1968. di dalam dua karya ini, Nasution mencoba menganalisis sifat dasar pemikiran teologi Muhammad Abduh dengan membandingkannya dengan Mu’tazilah, Maturudiyah dan Asy’ariyah. Disini Nasution memandang bahwa teologi sangat penting didalam mengetahui sebuah agama secara lengkap. Akan tetapi, teologi yang ditawarkan Nasution lebih bersifat filosofis dan kajian yang mendalam, berbeda dengan genre pengajaran teologi yang ada di Indonesia yang umumnya di dominasi oleh teologi Asy’ariyah saja. Inilah medan pertempuran teologi rasional yang digagas Nasution dalam mengembangkan pemikiran rasional yang terbuka dan bebas.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan disini adalah apa motif Nasution dalam mengambil pandangan rasionalitas Abduh dan dia sangat tertarik dengan teologi Mu’tazilah. Inilah yang mungkin dapat saya katakan sebagai latar belakang munculnya pemikiran rasional Nasution. Di dalam melihat konteks pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana kita ketahui bahwa Abduh dihadapkan pada masalah kemunduran umat Islam ketika berhadapan dengan dunia Barat serta usahanya untuk dapat mengangkat posisi umat islam dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada rasio. Tampaknya bisa dipahami jika Nasution terobsesi untuk dapat mengaplikasikan pandangan-pandangan Muhammad Abduh di Indonesia. Dia yakin bahwa umat Islam doii Indonesia berada pada posisi yang sama dengan bangsa Mesir ketika Abduh mulai menyebarkan ide-ide teologisnya.
Seperti halnya dengan Abduh, melalui doktrin Mu’tazilah dan semangat rasionalnya Nasution mencoba untuk mendobrak pintu rasionalisme masyarakat Islam Indonesia. Jelas nampak dalam karya-karyanya Nasution mencoba untuk menggairahkan rasionalisme untuk mengeliminasi dampak negatif dari tradisionalisme. Dia berharap bisa menggunakan ide-ide Abduh dan kalam Mu’tazilah sebagai basis untuk membangun filsafat dan teologi Islam yang rasional dan modern. Lebih lanjut Nasution menegaskan bahwa umat Islam mau beradaptasi dengan modernitas, dan konsekuensinya adalah menggantikan pandangan teologis mereka dari Asy’ariyah menjadi Mu’tazilah ala Abduh. Menurutnya rasionalisme teologi mu’tazilah adalah prasyarat modernisasi Islam. 5 Hal ini tidak berarti bahwa mereka telah keluar dari Islam sebagaimana yang dipahami oleh kalangan salaf tradisionalis. Yang mungkin menjadikan pembeda dari semangat membangun Islam modern yang mampu bersaing dengan Barat, adalah masyarakat Indonesia sebagaimana Nasution tetap mempertahankan sikap yang saleh yang menjadi ciri utama tradisi tradisionalisme Islam. Atau kalau boleh dibilang dengan istilah sekarang “Think global, act local” sangat cocok dengan kondisi dan sikap penduduk Indonesia.

C. Mendobrak Rasionalisme melalui Teologi Mu’tazilah
“Sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan samapai hari ini, kedudukan umat Islam dalam sejarah akan berlainan sekali dengan kedudukan mereka sekarang. Sikap lekas menyerah pada nasib membuat umat Islam lemah; paham fatalisme melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakal membuat mereka senantiasa dalam keadaan statis” (Ahmad Amin)
Dari kutipan Nasution terhadap karya Ahmad Amin, dalam Dhuha al-Islam, menunjukkan keinginannya dalam mempelajari teologi Mu’tazilah dan mencari pusaran rasionalitas yang ditawarkannya. Dalam sebuah karyanya tentang teologi Islam, Nasution menegaskan bahwa pada masa modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran Mu’tazilah yang bercorak rasional tersebut telah mulai hidup kembali dan bisa diterima oleh umat islam, khususnya di kalangan terdidiknya. Mereka telah mengadopsi, meskipun tanpa disadari, beberapa pandangan yang dekat dengan doktrin Mu’tazilah. Namun, perlu ditegaskan bahwa mengadopsi pandangan seperti itu tidak harus berarti telah menjadikan mereka keluar dari Islam arus utama.
Akan tetapi, pandangan ini tentunya tidak semulus yang dia harapkan. Bahkan masyarakat Indonesia pada waktu itu belum bisa sepenuhnya menerima pandangan rasionalisme Harun Nasution. Bahkan Nasution sebagaimana sebuah ikan yang mencoba melawan arus tradisionalisme Asy’ariyah yang deras mengalir di Indonesia.
Sebagaimana sebuah pandangan yang muncul dikalangan akademis, tradisi kritis selalu terbuka dan menjadi cara dalam setiap progesifitas ilmu pengetahuan. Disini kritik muncul kemudian, diantaranya oleh Martin dan kawan-kawan yang menurut mereka Nasution tidak cukup dalam referensi karyanya. Sebagaimana juga kritik senada muncul dari kalangan akademis Indonesia, Fauzan Saleh yang menurutnya Nasution kurang memiliki akses pada karya-karya para sarjana barat tentang teologi, khususnya Mu’tazilah. Hal ini mungkin karena pada waktu dia menyelesaikan studinya di McGill, para sarjana barat belum banyak memberikan perhatian kepada masalah teologi Islam, apalag Mu’tazilah. Namun patut disayangkan jika Nasutin tidak merujuk kepada Montgomery Watt, Free will and Predestination (1948), yang juga membahas teologi Mu’tazilah.6
Akan tetapi, pembahasan Nasution tentang Mu’tazilah, meskipun cukup singkat, telah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai pemikiran teologi Islam. Bisa jadi dialah orang pertama yang menguraikan teologi Mu’tazilah secara adil dan objektif bagi khalayak pembaca di Indonesia. Walaupun, memang benar bahwa sebelum dia, telah memperkenalkan Teologi Mu’tazilah, namun mereka cenderung menyajikannya secara kurang mendalam dan kadang-kadang kurang objektif dan dalam bentuk yang kurang memenuh setandar penulisan akademik. 7

D. Kontribusi Nasution dalam Mendobrak Pintu Rasionalisme di Indonesia.
Akhirnya, sebagai kilas balik dalam kisah “sejarah intelektual” seorang Harun Nasution adalah menunjukkan beberapa kontribusinya dalam mengembangkan wacana teologi Islam di Indonesia. Suatu penilaian yang cukup menarik dikemukakan oleh Nurcholish Madjid tentang Nasution, yang ditulis dalam sebuah artikel berjudul “Abduhisme Pak Harun”. Menurut Cak Nur, nasution telah berhasil membangun sebuah tradisi intelektual baru di kalangan mahasiswa IAIN. Hal itu tercermin dari adanya kecenderungan umum para mahasiswa yang memiliki sifat lebih terbuka dan kritis, terlihat dari usaha mereka dalam mengkkaji ulang doktrn dalam konteks hstorisnya. Semua langkah ini telah ditempuh Nasution untuk mengembangkan apa yang disebut learning capacity, suatu upaya yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya. Melalui upaya-upaya ini, kreativitas akademik di lingkungan IAIN berkembang cukup pesat. 8
Pengaruh terbesar Nasution terletak pada upayanya memperkenalkan pendekatan baru dalam mengajarkan teologi dan filsafat Islam. Dalam bidang teologi, nasution berhasil menjadkan subjek ini mudah bagi mahasiswa untuk mempelajari berbagai kontroversi yang muncul, sehingga mereka mengkaji ulang dasar-dasar keyakinan mereka. Dengan mempelajari kalam dengan pendekatan yang lebih maju seperti ditawarkan oleh Nasution, umat Islam akan dapat mempelajari persoalan doktrin mereka dengan lebih cerdas. Berkaitan dengan dorongan Nasution untuk mengembangkan pandangan yang rasional dalam kehidupan beragama, Cak Nur menjelaskan bahwa sangatlah perlu mendidik umat Islam agar mereka dapat memahami agama mereka secara rasional. Rasionalitas mendominasi seruan al Qur’an untuk beriman.
Dengan membuka pintu rasionalitas di dalam keyakinan beragama, Nasution telah membuat terobosan amat besar untuk mengembangkan wacana teologi dalam kehidupan akademik hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Obsesinya dalam memperkenalkan teologi Mu’tazilah atau meminjam ucapan Martin dan kawan-kawan “menasirkan ulang Mu’tazilisme dalam konteks Indonesia Modern” mengandung dua misi penting, pertama rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk berwawasan terbuka dan, bersedia menerima liberalisme (inilah yang akan digagas Nurcholish Madjid selanjutnya). Dan kedua pengakuan akan adanya kapasitas diri manusia dalam pengertian Qadariyah tentang adanya kebebasan kehendak. Bahkan lebih jauh lagi Nasution telah berusaha menjadikan Islam lebih fungsionalis, dan bukan hanya symbol dar perasaan dan emosi keagamaan saja.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Nasution telah berhasil menyelesaikan tugas besar yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapapun sebelum dia. Dia telah membuat berbagai terobosan yang memungkinkan anak-anak muda dapat menikmati kebebasan berekspresi berkaitan dengan permasalahan doktrin keagamaan mereka. Islam telah disajikan dalam bentuk yang lebih terbuka sebagai suatu objek kajian yang kritis. Kemunculan Nasution dalam kancah akademik Islam dapat dipandang sebagai bentuk pembaruan yang lain dalam bidang pemikiran teologi. Dan dia telah berhasil mendobrak pintu rasionalisme masyarakat Indonesia yang sebelumnya tertutup oleh fanatisme mahzab dan kesempitan pandangan salaf taradisionalisme yang kurang bisa menerima keterbukaan dan rasionalitas.

E. Kesimpulan.
Setelah kita melihat petualangan Harun Nasution dalam “sejarah intelekltual”nya dapat kita lihat berbagai hasilnya yang telah kita rasakan sampai sekarang, khususnya sebagai kalangan akademik. Akan tetapi yang harus kita lakukan dalam melihat pemikiran Harun Nasution adalah kita harus menempatkannya dalam konteks pemikiran yang sedang berkembang di Indonesia saat itu, dan kita lihat bahwa dia melakukan usaha yang sama sekali baru dan berbeda dari genre pemikiran yang ada. Akan tetapi keberhasilannya tidak tertutup dalam kurungan waktu dan tempat, tapi pemikirannya terasa membebaskan sampai sekarang. Dia telah berhasil mendobrak pintu rasionalisme dengan penyadaran akan teologi rasional Mu’tazilah dan sebuah gebrakan akademis yang telah menghasilkan para pemikir-pemikir terkenal di Indonesia
Gagasan dan pemikiran Harun Nasution sebagaimana telah kita lihat, diharapkan masih terus dipelihara dan dikembangkan di berbagai tingkatan masyarakat khususnya di jenjang perguruan tinggi di Indonesia. Pemikiran rasionalitasnya, walaupun dengan pendekatan teelogi, telah mampu menggairahkan semangat rasionaitas dan keterbukaan di Indonesia.

BIBLIOGRAPHY
· Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 1999
· Muzani, Saiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof Dr Harun Nasution. Bandung. Mizan, 1996
· Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987
· __________, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta. UI-Press, 1979
· __________, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986
· Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2005
· Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan. Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta. Serambi, 2004
· Tim Penulis. Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam; 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.s
· "http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution"



Muhammad Abduh Ali Saputra BM

Serpong, 16 Juni 2009

Label: