damaiduniaku

kedamaian akan menunjukkan dirinya pada dunia..... Sambut dan berdamailah dengannya....

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, Jakarta, Indonesia

Seorang Anak Manusia yang mencari jati dirinya...

Minggu, 16 Agustus 2009

“Nafsu Ammarah” The Very Commanding Soul

“Nafsu Ammarah” The Very Commanding Soul

Abstraksi Nafs bagaikan nyala api
Baik keindahannya yang tampak
Maupun kekuatan-merusaknya yang tersembunyi.
Walau warnanya menarik hati, ia membakar diri.{R. Frager}
1

Nafs adalah bagaikan seekor naga
Bagaimana mungkian ia mati
Ia hanyalah membeku karena tiadanya keburukan
Biarkan sang naga dalam dirimu tertidur.
Jika bengun ia akan melahapmu. (Rumi)
2


Apakah Nafs Itu? Salah satu istilah yang paling umum dalam psikologi sufi adalah nafs, atau ”diri”. Istilah ini terkadang diterjemahkan sebagai ”ego” atau ”jiwa”. Makna lain nafs adalah ”intisari” dan ”nafas”. Namun dalam bahasa Arab, nafs lebih umum digunakan sebagai ”diri”. Sebagaimana yang digunakan sehari-hari, seperti diriku, dirimu. Ketika kebanyakan penulis sufi menggunakan istilah nafs, mereka merujuk pada sifat-sifat dan kecenderungan buruk kita.

Pada tingkatanya yang terendah, nafs adalah membawa kita kepada kesesatan. Kita semua berjuang untuk melakukan hal-hal yang seharusnya jelas-jelas harus kita lakukan. Kita kerap berjuang, bahkan lebih keras lagi untuk menghindari prilaku-prilaku yang kita ketahui sebagai hal yang buruk dan merusak. Mengapa kita harus berjuang?. karena pikiran kita mengalir dan terbagi-bagi. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Fadlallah Haeri bahwa, pikiran kita mempunyai dua aspek. ” Pikiran kita terdiri dari pikiran perspektif (yang bersifat menentukan) dan enslikopedik”3. Pikiran Enslikopedik adalah pikiran yang kita gunakan dalam bahasa, sains, teknologi, dan sebagainya. Dan pikiran perspektif inilah yang akan mempengaruhi kita dalam proses kehidupan kita. Pikiran inilah yang selalu mempersepsi apa yang terjadi, apa yang harus kita lakukan, dan bersifat psikologis atau pribadi. Dan pikiran inilah yang kita kenal dengan nafs, yang sering membawa kita kepada kesalahan persepsi dan bahkan mengarah kepada keburukan. Bahkan ketika kita yakin akan apa yang benar, ada sebagian dari diri kita yang berusaha untuk membuat kita melakukan yang sebaliknya. Dan bagian tersebut adalah diri rendah (hawa nafsu), khususnya tingkat terendah nafs kita, yakni nafs ammarah.
Robert Frager menjelaskan bahwa Nafs, sebagai proses yang dihasilkan oleh interaksi roh dan jasad, bukanlah struktur psikologi yang bersifat statis. Sama sekali tidak ada yang salah dengan roh maupun jasad. Namun, proses yang dihasilkan oleh keduanya dapat saja menyimpang. Ketika roh memasuki jasad, ia terbuang dari asalnya yang bersifat immateri, kemudian nafs pun mulai terbentuk. Dengan demikiaan, roh pun menjadi terpenjara di dalam benda materi dan mulai menyerap aspek-aspeknya.4 Karena nafs berakar di dalam jasad dan roh, ia mencakup kecenderungan meterial dan spiritual. Pada mulanya, aspek material mendominasi; nafs tertarik kepada kesenangan dan keuntungan duniawi. Apa yang bersifat materi secara alamiayah cenderung tertarik kepada dunia materi. Dan sebaliknya, ketika sang nafs memndapatkan pencerahan,_baik dari dalam kesadaran diri maupun faktor luar_ maka dia akan menuju kearah jiwa spiritual. Yaitu ketika nafs bertransformasi, ia menjadi lebih tertarik kepada Tuhan dan kurang tertarik pada dunia.

Dan bahkan pada prosesnya, mugkin nafs bersama jiwa bersatu menuju Tuhan. Sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an, bahwa nafsu yang dipahami sebagai unsur immaterial dalam diri manusia sebenarnya mempunyai potensi untuk mengajak kebaikan dan sekaligus kejahatan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Syams 7-8; ونفس وماسواها فالهمها فجورها وتقواها Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan. Untuk itulah, nafs amarah harus kita transformasikan kedalam tingkatan nafs yang lebih tinggi dan mulia di sisi Allah. Dan tentunya dengan kesadaran diri untuk melawan hawa nafsu ”yang merusak”dan berusaha meraih cahaya pencerahan dari Allah. Karena sebenarnya selain adanya kegelapan nafs_yang terbentuk dalam prosesnya_, dalam diri kita juga secara hakiki terdapat percikan cahaya illahi, yang seharusnya kita hidupkan dan kita jadikan lentera jalan kita menuju Dia. Allah SWT yang kita cintai bersama, dan Dia-pun mencintai kita. Nafsu Ammarah dalam Jiwa Manusia. Tingkat nafs ammarah sering juga diterjemahkan sebagai ”nafs yang memerintah”, ”nafs yang mendominasi” atau ”nafs yang menyuruh pada kejahatan” Istilah ammarah secara literal berarti ”perintah atau keebiasan yang berulang-ulang.”. Sehingga tingkat ini dapat juga disebut sebagi ”nafs yang mengganggu”. Nafs Ammarah berusaha untuk mendominasi dan mengendalikan pikiran serta tindakan kita. Celakanya, ia sering kali berhasil. Ketika berbicara mengenai nafs secar umum, kebanyakan para penulis sufi merujuk hanya pada stasiun terendah dari nafs ini. Al Qur’an menggambarkan sebagai berikut.

وما ابرىء نفسي ان النفس لأمارة بلسوء الآ ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم
Dan Aku tidak berlepas tangan dari nafsuku Sesungguhnya nafsu itu selalu menyeru kepada kejahatan. Kecuali yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya rabbku Maha Pengampun lagi Maha penyayang” (QS Yusuf : 53)

Nafsu Ammarah inilah nafsu yang tercela. Dimana nafsu ini tampil sebagai jiwa yang sering memerintah, menuntut dan menuruti ”hawa nafsu”. Ia selalu mengajak kepada keburukan, dan itu memang tabiatnya. Dan kebanyakan manusia terjerat dalam kelicikan nafsu ini. Akan tetapi tidak berarti nafsu ini akan selalu eksis dalam diri kita. Karena ada pengecualian yaitu yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT, yaitu kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Sebagian orang yang didominasi oleh nafs amarah ini mungkin saja melakukan amalan-amaln keagamaan, namun hanya berupa pameran belaka yang dirancang untuk mendapatkan penghargaan orang lain. Menurut perkataan seorang Syekh ”Nafs adalah sifat yang menjadi tenang hanya dalam ketidakjujuran, menjadi tenang hanya oleh segala sesuatu selain Allah, nafs tidak akan pernah tunduk pad jalan Allah”5

Pada level ini, nafsu ammarah kita diperintah oleh kelicikan kecerdasan kita. Ini adalah kecedasan tanpa disertai keimanan terhadap sesuatu di luar diri kita. Ia berbakti kepada penumpukan harta kekayaan, kekuatan, dan kepuasan ego, tak peduli apa yang dipertaruhkan. Tidak ada cinta terhadap Tuhan, tidak ada pengendalian batiniah atau bahkan perasaan berdosa, karena tidak terdapat moral batiniyah. Misalnya kita dapat melihat hal ini dengan jelas pada para psikopat yang berbuat licik, mencuri, dan bahkan membunuh tanpa ada rasa penyesalan. Karakteristik Nafs Ammarah Kebanyakan orang yang berada pada tingkat ini adalah budak-budak kesenangan pribadi mereka. Mereka sepenuhnya akan memuaskan ego mereka, bahkan dengan segala cara. Pada tingkat inilah, kita adalah para pecandu yang menyangkal, didominasi oleh ketergantungan yang tak-terkontrol. Tetapi menolak bahwa sesungguhnya apa yang kita lakukan itu salah. Inilah nafs yang mempunyai aneka macam karakter: Mungkin karakteristik yang terparah dari tingkat ini adalah kecanduan akan pujian, suatu kecanduan yang lebih sulit dan lebih berbahaya daripada obat terlarang dan alkohol, dan kerap lebih jauh berakar di dalam jiwa. Akan tetapi yang mungkin menarik dalam karakteristik ini adalah kebanyakan orang tidak menegetahuinya, atau bahkan berusaha melupaknnya. Mungkin juga seorang psikiater itu sendiri. Sebagaimana ungkapan

”Kita bagaikan ikan yang tidak mengetahui apakah air itu, karena mereka tak pernah mengenal hal lainnya”
Nafsu ammarah berusaha merasionalisasikan kejahatannya. Hal ini pastilah sering kita alami, baik kita sadari ataupun tidak. Sebagai contoh, ketika kita melakukan kejahatan kepada orang lain, bahkan berprilaku sebagai musuh terburuk bagi diri kita sendiri. Kemudian tak lama setelah itu kita mencoba merasionalisasi apa yang telah kita lakukan, dan menganggap bahwa kitalah yang berkuasa atas kehidupan kita. ”Nafs adalah bagaikan api. Jika sampai pada titik dipadamkan, ia selalu kerambah wilayah lainnya, jika nafs bersifat tenang di satu wilayah, ia membakar di wilayah lainnya.” Nafs ammarah secara umum bekerja di luar kesadaran. Ia sepertinya berbicara dengan suara hati kita sendiri dan mengungkapkan hasrat kita yang terdalam, sehingga kita jarang melawannya. Bahkan nafsu ammarah mendominasi kita tanpa kita sadari, ia bagaikan sang raja yang berperangai lembut akan tetapi mempunyai maksud yang sangat kejam.
Dan beberapa karakter lainnya yang pasti menjurus kepada keburukan dan kegelapan jiwa spiritual. Kota Nafs ammarah. Ini adalah kutipan dari seorang syekh kalangan Naqsabandiyah, yang menggambarkan (mengabstraksinya) betapa ngerinya wilayah kota ini. ............... Kota yang mengerikan tersebut bernama Kota Ammarah...Sebuah kota kebebasan, tempat setiap orang melakukan apa yang mereka sukai. Sang penguasa mereka adalah Yang Mulia kepandaian. Ia seorang astrolog, ahli sihir, insinyur, dokter penyembuh yang luar biasa hebatnya, seorang yang pandai yang tidak ada duanya di kota tersebut. Para penasihat dan mentrinya disebut Logika, para hakimnya bergantung pada Hukum Rasionalitas kuno, pqara pelayannya disebut Imajinasi dan Khayalan..... Akan tetapi seluruh penduduknya sepenuhnya setia kepada penguasa, tidak hanya menghormati dan menghargainya serta pemerintahannya, tapi juga mencintainya, sebab mereka merasakan persamaan sifat, adat istiadat dan prilaku...... ( ditulis ulang oleh Syekh Safer Dal) Diagram Nafs Tirani. 6

Ini adalah sebuah diagram dasar tentang konsep transformasi nafs, yang dikembangkan oleh Syekh Ragib al Jerahi (Robert Frager) dari konsep Robert Assagioli, saeorang psikiater yang mempelajari Frued dan Jung. Tuhan Jiwa Alam bawah sadar- atas Alam bawah sadar-tengah ”Aku” Wilayah kepekaan Alam bawah sadar-bawah Nafs ammarah Dalam diagram ini secara umum (sang jiwa) dibagi kedalam tiga bagian; yang pertama adalahbagian tertinggi dari lingkaran adalah alam tak sadar –atas, mewakili jiwa spiritual, transendental atau transpersonal. Yang kedua adalah Alam bawah sadar tengah mencakup wilayah kepekaan, atau bagian kesadaran terkini dar jiwa. Wilayah luar lingkaran menyimpan memori-memori yang telah terlupakan, tetapi mudah untuk kembali. ”Aku” ditempatkan di pusat alalm bawah sadar tengah, karena ia adalah pusat dari kesadaran kita, pemahaman yang terbatas mengenai jati diri kita. ”Aku” memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pengalaman kita dengan cara menyorot kepekaan kita, mengembangkan dan menyusutkannya.

Dan yang ketiga adalah bagian bawah sadar-terbawah. (pengertian ini hampir sama dengan konsep Frued mengenai alam bawah sadar, ”id” atau ego) Pada bagian ini, terdapat berbagai memori yang menyakitkan, yang selalu menuntut, ”ga’ tau malu”, kejam, yang kalau ia muncul dan menerobos batasan ego akan menjadikan seorang menjadi budak hawa nafsu, dan mewujudkan karakter yang merusak. Pada tingkat nafs ammarah, batasan yang kuat memisahkan alam bawah sadar atas dari kepekaan. Hidup kita menjadi tidak bersemangat, dipisahkan dari rasa cinta, makna, ataupun kesenangan. Dan sayangnya batasan dengan area kepekaan (tengah) sangat tebal dan kuat, sehingga pencerahan-pencerahan spiritual susah menerobos dan mempengaruhi diri kita. Jiwa ditempatkan pada puncak lingkaran oval, walupun ia sesungguhnya merupakan pusat keseluruhan jiwa. Jiwa dapat dikatakan meliputi keseluruhan lingkaran, ia berbeda, namun tidak terpisah dari bagian jiwa yanglain. Jiwa secara langsung berhubungan dengan Tuhan, walupun sang individu kebenyakan tidak menyadari hal tersebut. Ia adalah sumber kearifan dan petunjuk yang mendalam dan mampu bekerja diluar kendali kepekaaan yang sadar. Inilah salah satu dari prinsip dasar psikologi sufi dimana jiwa akan selalu terkait dengan Tuhan. Pada tingkat nafs ini, bagian spiritual jiwa pada umumnya dihilangkan. Perbatasan antara alam bawah sadar tengah dan alam bawah sadar atas sangat kuat dan bahkakn tidak dapat diterobos. ”Aku” dengan salah melihat dirinya sebagaipusat jiwa, karena pusat yang seharusnya, yakni Jiwa, sepenuhnya berada di luar jangkauan. Perbatasan antara alam bawah sadar tengah dan alam bawah sadar Bawah juga tebal, namun tidak sepenuhnya tak dapa diterobos. Ia mewakili seorang individu yang tidak memiliki kepekaan akan dorongan-dorongan id, yang mengakibatkan timbulnya kecenderungan untuk meledak menuju alam bawah sadar. Individu ini menjadi sangat kuat didominasi oleh dorongan dari Id, Kemudian Ego ”Aku” juga sangat kuat, karena pada tingkat ini kita tidak memiliki kepekaan akakn dimensi spiritual ataupun alam sadar jiwa. Bagaimana Mengendalikan Nafs Ammarah? Sebenarnya nafs ammarah seharusnya tidak pernah dihancurkan, melainkan ditransformasikan menjadi sifat-sifat dan prilaku yang baik. Karena menghancurkan diri ammarah kit, sama saja dengan menghancurkan diri kita sendiri. Salah satu cara untuk mensucikan hati kita adalah melalui praktik melepaskan diri dari dunia dan mengingat Tuhan, yang akan memancarkan cahaya hati dan membuat kita peka terhadap kerja nafs, dan inilah kesadaran awal yang harus kita bangun. Dan secara praktek mungkin kita dapat sedikit demi sedikit mencoba mengubah perbuautan negatif kita dengan perbuatan yang lebih baik dan positif, bahkan kalau perlu melalui jalan sufi,; seperti suluk, mengikuti tarekat, ketaatan terhadap syekh, mengamalkan dzikir-dzikir tertentu, mallamatiyah, dan sebagainya. Kemudian Murthadha Muthahari juga menyebutkan ada tiga tahap (cara) dalam jihad nafs; Yaitu mensyaratkan (المشارطه), memastikan (المراقبه) dan muhasabah ((المحاشب terhadap segala apa yang telah kita lakukan.

Kesimpulan

MARILAH KITA MENTRANSFORMASIKAN DIRI KITA DARI NAFS AMMARAH  NAFS LAWWAMAH  NAFS MULHIMMAH NAFS MUTMAINNAH  NAFS RADHIYAH  NAFS MARDHIYAH  NAFS SUCI

DAFTAR PUSTAKA
• Mushaf Al Qur’an Al Karim
• Al Ghazali, Ibn Rajab Al Hambali, dan Ibn Qayyim Al Jauziyah terj. Imtihan As Syafi’i,. Tazkiyatun Nafs. Pustaka Arafah. Solo: 2004
• As Sabrawi, Syekh Abd Khaliq. Biarkan Dirimu Tumbuh Sempurna. Serambi. Jakarta 2005
• Frager, Robert. Hati, Diri & Jiwa Psikologi Sufi untuk Transformasi. Serambi. Jakarta: 2005
• Ozak, Syekh Muzzafer. Pencerah Mata Hati. Serambi. Jakarta: 2005
• Haeri. Syekh Fadlullah. Bahagia Tanpa Jeda. Serambi. Jakarta : 2004
• Shihab, M. Quraish. Wawasan Al Qur’an. Mizan. Bandung :2001
• Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas. Balai Pustaka. Edisi Ketiga. 2007

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda