damaiduniaku

kedamaian akan menunjukkan dirinya pada dunia..... Sambut dan berdamailah dengannya....

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, Jakarta, Indonesia

Seorang Anak Manusia yang mencari jati dirinya...

Senin, 07 September 2009

Filsafat Idealisme

Filsafat Idealisme

Abstraksi.
Manusia adalah makhluk yang sungguh ideal. Dalam tubuh materialnya terdapat sisi mental dan spiritual yang sangat tinggi. Hal ini menjadikan manusia sebagai pribadi yang mempunyai arti dan harga diri, dimana manusia mempunyai nilai, dan lebih tinggi daripada alam materi dan makluk lainnya. Pandangan idealisme pada diri manusia muncul dari renungan murni seorang filsuf yang dikembangkan oleh pandangan para filsuf idealis selanjutnya.
Berawal dari Plato yang menyatakan pandangan idealnya bahwa “ide adalah esensi yang transenden yang melatari setiap realitas yang ada diluar, sehingga ide menjadi realitas yang sangat fundamental”. Pandangan ini tentu telah memberikan inspirasi kepada filsuf idealis selanjutnya. Bahkan idealisme ini telah hidup dan berkembang di Barat dan Timur selama berabad-abad. Idealisme transenden ala Plato telah sangat berkembang di Timur, dan di Barat, idealisme ini telah tertransformasi ke dalam bentuknya yang lebih menekankan pada person (antropomorphisme). Hal ini terjadi dalam lingkup perdebatan pemikiran yang berbeda diantara keduanya. Terutama di Barat, pemikiran rasionalitas terasa lebih hidup, kemudian dilanjutkan dengan corak empirisisme.
Perdebatan-perdebatan filosofis ini pada tahap tertentu telah memunculkan era baru bagi kalangan idealisme. Di awali oleh Berkeley dengan pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan bahwa keberadaan ide harus bersandar pada akal. Kemudian idealisme ini dilanjutkan oleh Kant dengan transenden idealisme yang melihat bahwa ide adalah sesuatu pikiran yang transenden dalam diri kita. Dan pada tahap berikutnya, Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan absolut idealisme. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak. Mungkin pandangan ini seakan kembali pada idealisme ala Plato, akan tetapi Hegel telah mengembangkannya pada taraf pemikiran tentang hakekat alam dalam realitas yang lebih absolut sebagai sebuah ide. Menurutnya Ide adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan. Alam adalah akal yang mutlak yang memngekpresikan dirinya dalam bentuk luar.

Pendahuluan
Kata idealis sering kita dengar atau bahkan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kata idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya dalam bahasa sehari-hari. Secara umum, kata itu dapat kita artikan ketika seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya. Kata idealis disini dapat dipakai sebagai pujian atau cemoohan kepada seseorang yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tidak mungkin dicapai.
Arti filosofis dari kata idealisme akan lebih dekat dengan kata ide dari pada kata ideal. Mungkin seorang idealis akan mengatakan bahwa kata-kata idea’ism adalah lebih tepat daripada “idealism”. Dengan ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa dan bukan benda material. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih awal ada daripada materi. Jika materialisme mengatakan bahwa materi adalah riil dan akal adalah fenomena yang menyertainya, maka idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingannya. (HM. Rasyidi. 1984: 318) Dengan begitu maka idealisme mengandung penolakan bahwa dunia ini sebagai realitas yang sesungguhnya, akan tetapi ide-lah yang lebih esensial dan fundamental.
Dalam perkembangannya, idealisme menjadi suatu pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat berhubungan dengan ide, pikiran atau jiwa. Dunia mempunyai arti yang berlainan dari apa yang nampak pada permukaannya. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu objektif semata-mata.
Kecenderungan-kecenderungan pemikiran idealisme ini lebih banyak muncul dan berkembang di belahan dunia Barat yang dimulai dengan masa pencerahan dan renaissance. Perdebatan-perdebatan filosofis telah muncul ke permukaan sebagai aliran rasionalisme dan juga empirisisme yang keduanya pada tahap tertentu telah memunculkan pandangan idealisme. Di awali oleh Berkeley dengan pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan bahwa keberadaan ide harus bersandar pada akal kita. Kemudian idealisme ini dilanjutkan oleh Kant dengan transenden idealisme yang melihat bahwa ide adalah suatu pikiran yang transenden yang ada dalam diri kita, melalui gagasan dan ide. Dan pada tahap berikutnya, dengan dialektikanya, Hegel berusaha melakukan sintesis antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan idealisme absolut. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak.
Itulah beberapa statement awal yang saya ambil dari tema makalah kali ini. Ketiga tokoh idealis ini memiliki kecenderungan yang berbeda-beda didalam menafsirkan apa itu idealisme dalam mengartikan ide, pikiran, jiwa dan juga realitas alam diluar manusia. Akan tetapi disini saya akan berusaha untuk menggali lebih dalam sisi idealisme dari ketiga tokoh sentral diatas. Dalam usaha ini, saya akan berusaha membandingkan ketiganya dalam genre pemikiran idealisme sendiri, dan mungkin akan ada perbandingan ataupun kritik dari kalangan diluar idealis, seperti realis yang begitu frontal mengkritik pandangan idealisme.
Untuk mempermudah penyajian makalah, maka saya akan mencoba menemukan satu-persatu pemikiran idealisme mereka masing-masing, dalam beberapa tema pokok, mengenai pikiran itu sendiri, tentang alam, dan tentang Tuhan, tentu dengan berbagai argumen yang mereka bangun. Setelah itu, sangat penting untuk mengemukakan berbagai kritik yang bermunculan ketika pemikirannya tumbuh dan berkembang dalam sejarah intelektual dan pemikiran filosofis. Dan yang terakhir, sebagai kesimpulan, pemakalah akan berusaha memberikan sebuah pandangan tentang idealisme ketiga tokoh tersebut.

A. Idealisme Subjektif Georege Berkeley
Idealis pertama dalam pengertian modern adalah Berkeley yang pada abad 18 telah menolak eksistensi independent benda-benda.1 Walaupun sebelumnya, kecenderungan ini telah ada dalam “keraguan Descartes” tentang dunia fisik, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan rasionalisme. Akan tetapi berbeda dengan Berkeley, yang mungkin posisinya dantara rasionalisme dan empirsme, mengatakan bahwa dia mengakui realitas materi yang ada adalah sebagai apa yang kita pikirakan. Untuk itulah selain disebut idealis, ia juga sering disebut dengan immateralism. Hal itu tampak dalam keyakinannya bahwa dunia material tidak dapat memiliki realitas independen dari pikiran kita, kecuali dengan mempersepsi dunia luar yang kita lihat melalui indera kita. Menurutnya, jika pohon hanya kumpulan sensasi dan ide, konsep dari “kepohonan” adalah terbebas dari pohon itu sendiri sebagai hasil dari proses sensasi selanjutnya. Untuk itulah Berkeley lebih menekankan pada pandangan subjektifnya terhadap dunia fisik, dimana menurutnya materi adalah sebagaimana yang dipahami (dipersepsi) manusia.
Beberapa argument Berkeley dalam idealisme subjektifnya terlihat dalam pandangannya tentang pikiran (knowledge). Dalam hal ini ia meyakini bahwa; Pertama; apa yang diketahui haruslah ‘ada di dalam pikiran” atau berhubungan dengan pikiran (mind). Kedua; Kita tidak dapat mengatakan secara positif bahwa materi yang dipahami berada bebas dari pemahaman, dan Ketiga adalah sifat objek fisik selalu bergantung pada pengalaman dan pikiran. 2
Ketiga pendapat ini nampak dalam kedekatannya dengan pandangannya sebagai seorang empiris. Dimana dia berpendapat bahwa ide dihasilkan didalam pikiran dengan sesuatu yang kita terima (kita cerap). Berkeley setuju bahwa ide harus di dalam pikiran, tetapi dia meolak bahwa mereka dapat dihasilkan dari sesuatu yang material diluar kita. Menurut Berkeley, kita tidak dapat mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang fisik kecuali dengan jalan ide, dan disini kita dapat mempunyai pengetahuan yang bebas tentang sesuatu dan itu adalah bagian dari ide itu sendiri. Ketika dengan mempersepsi, kita mempunyai alasan untuk percaya bahwa hanya dengan apa yang kita cerap maka semua persepsi yang ada dalam ide, dapat kita percayai sebagai kebenaran didalam keberadaanya. Tetapi kita tidak punya pembenaran untuk mempercayai adanya subtansi materi berada dibelakang ide tersebut. Tentang keberadaan ide, Berkeley berpikir bahwa materi itu ada jika kita persepsi atau kita dicerap. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori, esse is percipi. Adalah benar dengan definisi bahwa ide eksis (ada) jika itu kita persepsi cerap, dan disana tidak selalu sesuatu yang subtansinya materi.

A.1 Idealisme Berkeley dalam pandangan Ketuhanan
Idealisme subjektif ala Berkeley terlihat telah mengisyaratkan akan keunggulan pikiran melalui tubuh. Dan secara tidak langsung hal ini terlihat seakan meninggalkan idealisme Ketuhanan, yang menegaskan bahwa Tuhan adalah sebagai yang paling mendasar, realitas absolut. Akankah demikian?. Berkeley seperti kita ketahui adalah seorang yang sangat percaya kepada Tuhan. Bagaimana dia menjawab pertentangan argument tersebut. Hal itu akan terlihat dalam pendapatnya tentang keberadaan Tuhan.
Sejak awal dia percaya bahwa dunia material tidak mungkin memiliki keberadaan independen kecuali dalam pikiran (subjektif idealisme), atau di dalam prosesnya. Lebih jauh lagi hal ini mengisyaratkan bahwa realitas manusia dan nilai-nilai tujuan atau dasar dari realitas alam hanya ada dalam pikiran. Inilah yang menjadi tujuan idealisme subjektif, bahwa konsep dari realitas lebih ditentukan oleh pikiran dari pada dunia material itu sendiri. Idealis seperti Berkeley akan menekankan bahwa ada sebuah kesatuan organik untuk dunia yang lebih dari sekadar sebuah mesin yang dijalankan oleh Tuhan. Dari sini saya melihat bahwa Berkeley disatu sisi mempercayai ide sebagai proses atau capaian persepsi benda material, dan disisi lain ia juga melihat Tuhan berperan dalam memberikan kebebasan.
Tuhan dipandang Berkeley sebagai suatu subtansi yang independent dan terbebas dari pikiran itu sendiri dalam diri manusia. Dia percaya bahwa subtansi material tergantung pada kebebasan kita dalam mempersepsi sesuatu, adalah dapat dipikirkan. Jika dibandingkan dengan Leibniz dalam konsep monadologinya, Leibniz berpendapat bahwa materi adalah terkomposisi, dibuat dari sesuatu persepsi yang tidak terkomposisi, sebuah kesatuan kekuatan, yang disebutnya dengan monad. Menurutnya, monad-monad ini, masing-masing unik dimana sebagai sudut pandang atau perspektif di alam semesta, monad-monad ini bertingkat ke dalam tubuh, monad jiwa, dan monad Allah, subtansi spiritual yang tertinggi. Walaupun unik, monads ini adalah terbebas dan dalam bentuk yang harmony dalam diri mereka sendiri. Dibandingkan dengan Berkeley, idealisme yang berbasis empiris, “yang kita tahu adalah apa yang kita rasa” mengisyaratkan akan keberadaan Allah berbeda dengan kedudukan monad sebagaimana Leibniz. Tuhan dipandang Berkeley sebagai spirit yang tidak mempunyai ide tentang Tuhan, tetapi kita dapat memahami apa yang kita maksud dengan Tuhan.
Hal ini dapat kita lihat pandangannya tentang spirit dan juga ide yang terbentuk tanpa kontak langsung dengan dunia luar, seperti imaginasi. Menurut Berkeley ide tidak selalu berkaitan dengan sesuatu. Kita melihat bahwa beberapa ide, yang kita namakan imaginasi adalah subjek untuk kehendak kita, dan disini mungkin dapat dikatakan untuk menjadi ide, maka itu dihasilkan kita. Untuk itu kita dapat melihat pemikiran Berkeley bahwa ide dihasilkan oleh pikiran atau spirit dimana spirit itulah yang kita bangun. Ide dari persepsi, tidak dihasilkan oleh diri kita, tetapi harus dihasilkan didalam pikiran kita dengan beberapa spirit lainnya, yaitu Tuhan. Spirit adalah satu-satunya sumber ide, dimana mereka satu-satunya sesuatu yang aktif. Ide selalu dicatat, menjadi pasif karena definisi. Tetapi menurutnya kita tidak mempunyai ide tantang Spirit (Tuhan) tetapi kita mempunyai beberapa pandangan tentang mereka, dimana kita dapat memahami apa yang kita maksud dengan kata Spirit itu dan karena kita mengetahui bahwa kita adalah sumber dari beberapa ide (Principles, 140)

B. Idealisme Transendental Kant
Sejarah filsafat adalah sejarah pertarungan akal dan hati (iman) dalam berebut dominasi mengendalikan jalan hidup manusia. Terkadang akal menang dan kadang juga iman yang menang mutlak. Akan tetapi yang terpenting adalah mendudukan keduanya pada dominasi yang seimbang. Keseimbangan akal dan hati ini telah dibuktikan dalam sejarah filosofis dengan beberapa tokoh utamanya.3 Salah satunya adalah Imanuel Kant yang berhasil menghentikan sofisme modern untuk menundukkan kembali akal dan iman pada kedudukan masing-masing. Pandangan ini muncul sebagai sebuah idealisme transenden yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi perdebatan filosofis pada zamannya.
Diawali dengan idealisme Berkeley, pada abad yang sama telah muncul tipe idealisme yang berbeda melalui seorang Immanuel Kant (1724-1804). Pemikiran Kant muncul sebagai pemicu wisata intelektual yang paling berpengaruh dalam filsafat. Konsep idealismenya didasarkan pada pemikirannya yang rapi dan terarah. Dalam hal ini, Kant mengembangkan dualisme, dimana dia mempercayai keberadaan realitas eksternal, akan tetapi disisi lain dia berpendapat bahwa pikiran memberikan keunggulan dalam memahami itu. Lebih khusus lagi, ia berpendapat bahwa baik pikiran itu sendiri maupun pancaindera dengan sendirinya akan menghasilkan pengetahuan.
Menurutnya apa yang kita dapatkan melalui indera, sebenarnya kita sendirilah yang menentukan keberadaannya sebagai sebuah pikiran (ide) atau hanya sekedar sensasi. Untuk itulah pemikiran kosong dengan sendirinya, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang diri kita sendiri atau kenyataan. Untuk lebih gamblang, Kant menjelaskan bahwa persepsi harus didasari dengan pengetahuan a priori; sebuah intuisi, serta adanya konsep ruang dan waktu dan juga sebab dan akibat. Dan karena alasan itulah kita harus menggunakan indera. Selain itu, karena asumsi bahwa realitas ada di luar pikiran, maka Kant mengatakan bahwa perlu adanya pembagian kategori pada objek realitas tersebut. 4
Karena terdapat hubungan yang sangat khusus (intim) antara akal dan pancaindera, antara pikiran dan tubuh, “pikiran” dianggap Kant sebagai suatu kegiatan. Membawa kita ke realitas kategori “pengertian”, dan tidak hanya mencerminkan realitas atau cermin dengan pikiran kita, dan bukan hanya prasangka sebagaimana argumentasi Descartes. Namun, sesuai keterbatasan yang disusun oleh sebuah kategori a-priori ini, kita belajar dari kenyataan. Kita dapat meningkatkan pengetahuan kita melalui eksperimentasi dan tes. Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan kita harus dapat mencari, dan belajar. Kita harus memiliki kebebasan. Karena sifat moral, Pendapat Kant bahwa determinisme materialistis merupakan rantai alasan yang menyebabkan fisik dan kepalsuan hukum.
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra. Akan tetapi bila pengetahuan ini datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indra, yang kebenarannya a-priori, maka menurutnya dari sinilah kita mendapatkan pengetahuan yang mutlak yang dapat dipegang kebenarannya, bahkan menjadi pengetahuan yang absolut. Disinilah letak transenden idealismenya Kant, jika kita lihat lebih jauh maka pendapatnya ini mengisyaratkan akan adanya objektifitas dalam diri objek, walaupun manusia tidak mampu untuk mendapatkannya hanya dengan pancaindra, dan hal tersebut hanya dapat dimengerti oleh akal murni, dengan kategori kategori a-priori.

B.1 Pandangan Metafisika
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang Tuhan, Kant memulainya perenungan filosofisnya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat diketahui seandainya seluruh benda dan indra dibuang. Di sinilah buku Critique of Pure Reason berbicara, dimulai dengan serara rinci membahas cara manusia berpikir, tentang asal usul terbentuknya konsep, dan tentang struktur jiwa manusia. Menurutnya kesemuanya itu adalah pembicaran metafisika akal murni. Menurutnya, pengalaman hanya mengatakan kepada kita apa-nya dan bukan apa ia sesungguhnya. Disnini Kant mulai memperlihatkan apa yang diperjuangkannya; kebenaran umum harus bebas dan pengalaman harus jelas dan pasti dengan sendirinya (Durant, 1965 : 256) Disinilah apa yang kemudian disebutnya dengan kebenaran yang a-priori. Dan kebenaran itu kita peroleh melalui struktur jiwa kita yang inheren. Dari sini kita lihat idealisme transendenal yang ditunjukkan Kant, karena mungkin dia sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai seorang idealis transendent.
Usaha untuk menjelaskan sebuah jiwa yang inheren inilah, yang akan kita lihat sebagai pandangan metafisikanya yang lebih jelas melalui filosofi transendenal, Menurutnya, ada pengetahuan yang transenden, yaitu pengetahuan yang tidak banyak berisi objek, akan tetapi lebih banyak berisi konsep objek yang a-priori. Lebih lanjut, Kant menjelaskan proses masuknya pengetahuan a-priori ini dengan istilah estetika transenden dimana proses mengkoordinasikan sensasi-sensasi dengan acuan persepsi ruang dan waktu dan logika transenden, dimana mengkoordnasi persepsi-persepsi yang sudah masuk dalam konsep ruang dan waktu dengan memasukkannya dalam kategori pemikiran.5
Menurutnya, konsep ruang dan waktu adalah sebuah pengetahuan a-priori, Kant tidak pernah menolak eksistensi materi, dan tidak juga menolak ide. Ia hanya menyatakan bahwa kita tidak pernah mengetahui dengan pasti ide itu, dunia luar itu, selain dunia luar ide itu ada. Menurutnya pengetahuan kita tentang dunia luar itu hanyalah mengenai penampakannya, fenomenanya, dan pengindraan kita tentangnya. Dari pendapatnya itu, terlihat Kant bukan seorang empiris dan juga bukan rasionalis. Kant berada diantara keduanya. Kemudian yang menjadi menarik dalam pandangan Kant adalah, dia memisahkan antara fenomena dan noumena. Menurutnya pengetahuan kita tentang fenomena saja adalah sesuatu yang naïf, sedangkan tentang noumena kita tidak mengetahui sama sekali. 6
Tentu pendapat metafisika tidak sesederhana itu, ini merupakan sebuah jawaban untuk menyelamatkan sains, bahwa sains dapat dipegang hanya sebatas penampakan objek. Kesimpulannya adalah indra hanya mengetahui penampakan, dan ia dapat dipegang bila dasar-dasarnya a-priori. Dan menurutnya dasar-dasar a-priori tersebut ada pada sains. Dan lebih jauh, lewat The Critique of Pure Reason, ia berusaha menyelamatkan keyakinannya, maupun idealismenya. Dia menyatakan bahwa indra terbatas, sehingga sains dan akal tidak mampu menembus noumena dan objek-objek keyakinan. Dari sinilah dia menawarkan apa yang disebutnya Moral, menurutnya moral adalah kata hati, suara hati, persaan dan yang terpenting adalah suatu prinsip yang a-priori dan absoulut (lihat Durant, 1959 ;276).

B.2 Pandangan Kant tentang Keberadaan Tuhan
Setelah kita melihat pandangannya tentang metafisika, dan moralitas, terlihat dia ingin memberitahu akan keabsolutan dari moralitas itu sendiri. Inilah awal fondasinya dalam memahami realitas absolut, walaupun untuk sementara itu dipahami dalam diri manusia. Karena menurut saya, dari pandangan Kant tentang moral inilah yang memuncullkan pandangan tentang Keberadaan Tuhan. Sebelum membahas Tuhan, dia menyatakan bahwa moral inilah yang nantinya memunculkan sebuah kata hati yang memberi perintah (mempertimbangkan ide) dan inilah yang disebut Kant sebagai Kategori Imperatif, sebuah perintah tanpa syarat yang ada dalam kesadaran kita.
Dari moral inilah Kant berusaha membawa manusia menuju sebuah kesadaran akan adanya realitas yang mampu memhami nomena, sebuah spirit transenden yang dapat melihat setiap fenomena dan menemukan apa yang dibaliknya sebagai sebuah kebenaran, ataupun nomena. Terutama dalam ranah agama yang menuntut keyakinan dan kebenaran. Disinilah Kant mengisyaratkan adanya Tuhan, dalam keyakinan agama, sebagai sesuatu yang transenden dan merupakan akal murni ataupun yang memberikan pengetahuan a-priori sebagai sumber pengetahuan yang dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya dalam mendapatkan pengetahuan.
Kesadaran inilah yang akan membawa kita kedalam sebuah perbuatan baik secara moral dan juga kebenaran dalam sebuah pengetahuan yang didapat manusia. “Sekalipun kita tidak dapat membuktikan dengan akal teoritis, kita dapat merasakan bahwa kita mati pada suatu ketika”. Inilah sebuah ungkapan Kant yang menunjukkan akan kebenaran ide pada dirinya sendiri dan juga diterima atau paling tidak dirasakan setiap manusia yang hidup. Dengan cara seperti itu juga Kant ingin membuktikan akan keberadaan Tuhan. Bila kita sadar akan kematian, ataupun tugas dalam kehidupan ini sebelum kematian, maka imortalitas (kabadian) jiwa dan adanya Tuha dapat ditegakkan. Ini semua tidak dapat dibuktikan dengan akal teoritis, dan hanya pengalaman moral-lah yang dapat berbicara. Akal teoritis hanya bekerja pda daerah pengalaman empiris, daerah indra, dan daerah fenomena. Menurutnya akal teoritis tidak pernah melarang kita mempercayai thing it-self dan mempercayai adanya Tuhan.Kesadaran moral kita yang memerintahkan untuk mempercayaiNya. Rosseau benar tatkala ia berkata bahwa diatas akal logis dikepala, ada perasaan di hati. Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa hati mempunyai akal miliknya sendiri yang tidak pernah dapat memahami oleh akal teoritis (Durant, 1959 :278)7
Berbeda dengan kalangan teolog dan rasionalisme agama, Kant menganggap bahwa akal murni (pure reason) memiliki keterbatasan dalam memahami Tuhan.Menurutnya argumen-argumen akliyah tentang adanya Tuhan, tentang objek ghaib dan metarasional tidak dapat dipegang kebenarannya. Jika akal memasuki ranah ini maka akal akan tersesat dalam paralogisme. Inilah pendirian Kant, ia berulangkali mengisyaratkan akan perkataan hati. Kesimppulan dari pendangannya ini adalah akal dan iman harus mendapat porsi yang sama kuat dalam mengendalikan jalan kehidupan manusia. Disini juga dapat kita lihat sisi transenden idealisme Kant, dimana idealismenya berada dalam dua genre sumber pengetahuan utama, yaitu akal dan hati.
Akan tetapi, berbagai kritik bermunculan, sebagaimana penglihatan saya dalam pernyataan Kant sebelumya bahwa, ruang dan waktu adalah sesuatu yang a-priori, sehingga Kant terjebak dalam kebimbangan subjektifitas dan objektifitas ruang dan waktu. Kant ragu dalam membuktikan subjektifitas ruang karena itu akan ditolak kalangan materialisme, dan disisi lain Ia juga ragu untuk membuktikan objektifitas ruang, karena Tuhan akan berada di dalam ruang, Akibatnya Tuhan menjadi spasial, meruang dan memateri. Disinilah Kant lebih senang mengambil filsafat idealisme kritis yang menyatakan bahwa seluruh realitas diketahui terutama sebagai sensasi dan ide.
Walaupun boleh dikatakan Kant telah berhasil merumuskan idealisme transenden-nya dalam sebuah bangunan filsafat yang kompleks, Kant masih terlihat ragu-ragu dalam melihat dasar yang dipakainya sendiri dalam sebuah pengetahuan, yaitu pengetahuan a-priori. Walaupun dia sangat menekankan pengetahuan a-priori tersebut, saya melihat Kant kurang berhasil dalam menunjukkan bagaimana dan mengapa pengetahuan a-priori tersebut dapat ada dalam diri manusia dan bagaimana Kant memastikan kebenarannya. Walaupun perlu diakui bahwa dia telah menunjukkan adanya kategori-kategori imperatif yang memang hal tersebut dapat diketahui tanpa objek materi diluar.
Akan tetapi kalau kita lihat dari argumennya tentang moral yang seakan menjadi obat mujarab bagi kegelisahan konsep a-priori maupun akal praktis, saya melihat Kant terjatuh pada idealisme “antara” dan tidak berani mengambil sikap apakah relatif subjektif ataukah absolut objektif. Dia seakan terkungkung akan ketakutan pada kesalahan dalam pandangannya, sehingga ia seakan terfokus pada masalah antropomorfisme dan kurang melebarkan pemikrannya ke ranah yang lebih luas, tentang alam sebagai realitas lain selain Tuhan dan Manusia. Sebagaimana filsuf Idealis selanjutnya seperti Hegel yang akan kita lihat selanjutnya. Tetapi bagaimanapun juga kita berusaha memahami apa yang dimaksudkannya dengan idealisme transenden dan nampak Kant telah sangat apik merumuskan pandangannya.

C. Idealisme Absolut Hegel
Idealisme Jerman memuncak pada Hegel, dialah seorang filsuf terakhir barat yang mempunyai bangunan filosofis yang utuh, dan hampir filsuf setelahnya hanya mengembangkan beberapa bagian saja dari isu-isu filosofis. Mungkin istilah yang paling kita kenal dari Hegel adalah dialektikanya. Akan tetapi yang menjadi fokus makalah kali ini adalah tentang idealismenya, yaitu idealisme absolut. Apakah hubungan dialektika dengan idealismenya, tentu ini sangat berhubungan dalam sebuah bagunan filosofis yang komplit
Sebagai seorang filsuf yang berkembang pada masa romantisme, sebagaimana telah diaawali Kant. Oleh karenanya, banyak pikirannya dipengaruhi Kant. Tetapi ia tidak pernah menjadi pengikut Kant, perbedaan diantara keduanya lebih besar daripada perbedaan Plato dan Aristoteles. Hegel tidak akan menemukan metode dialektikanya tanpa memulainya dari dalektika transendenal yang dikembangkan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason. Sekalipun demikian, filsafat Hegel amat berbeda dengan filsafat Kant, terutama tentang keterbatasan akal dan pandangan tentang spirit (ruh) (Ahmad Tafsir. 2000 : 152). 8
Berbeda dengan Kant, yang dalam posisi transenden, Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan absolut idealisme. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak. Mungkin pandangan ini seakan kembali pada idealisme ala Plato, akan tetapi Hegel telah mengembangkannya pada taraf pemikiran tentang hakekat alam dalam realitas yang lebih absolut sebagai sebuah ide. Menurutnya Ide adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan. Alam adalah akal yang mutlak yang memngekpresikan dirinya dalam bentuk luar. Inilah yang benar-benar membedakannya dirinya dengan Kant, pandangannya tentang alam sebagai sesuatu yang absolut.
. Untuk mengetahui bagaimana idealisme absolutnya Hegel berbicara, kita dapat melihatnya dari pandangan metafisikanya dan juga nantinya pandangannya tentang alam. Bagian metafisikanya dimulai dari pembahasan tentang rasio. Hegel sangat mementingkan rasio ataupun pikiran. Hal ini menunjukkan dia sebagai seoarang yang sangat idealis. Menurutnya, pikiran yang dimaksudnya bukan hanya pada manusia perorangan, tetapi adalah sebuah rasio atau pikiran pada subjek yang absolut, karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu objek. Dalil Hegel yang kebudian terkenal berbunyi;
“Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran dan ide yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel bahwa seluruh realitas adalah spirit yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan pikiran, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual dan pada saat yang sama mencurigai rasio dengan mengutamakan perasaan.
Terkadang ada pemikiran bahwa istilah dialektika, hampir sama dengan Hegel itu sendiri. Padahal dialektika ini bukan satu-satunya filsafat Hegel, karena kita tahu dia adalah filsuf yang mempunyai bangunan filosofis yang lengkap. Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Namun, dialektika itu bukanlah sekedar digunakan untuk menjelaskan sesuatu, akan tetapi menurutnya dalam realitas itu sendiri berlangsung dialektika. Menurut Hegel, yang dimaksud dengan dialektika adalah mendamaikan dan mengkompromikan hal-hal yang berlawanan (Bertens, 1979: 68) Proses dialektika selalu terdiri dari tiga fase yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Sejara singkat dapat saya katakana bahwa dialektika adalah sebagaimana Hegel melihat pandangan subjektifitas disatu sisi sebagai tesis, dan pandangan objektifitas disisi yang lain sebagai anti tesis, dan kemudian menemukan diantara keduanya dengan sintesis dan menghasilkan sebuah teori yang menurutnya adalah absolut, dan nantinya disebut dengan idealisme absolut.

C.1 Pemikiran-pemikiran IdealismeAbsolut Hegel
Setelah kita telah mengidentifikasi teori realitas Hegel dan metafisiknya dan juga metode dialektikanya. Seperti yang kita lihat, idealisme merupakan suatu nama jenis teori metafisika yang mengakui bahwa realitas adalah rasional, logis, dan spiritual. Idealisme Absoulut Hegel nampak dalam pandangan berikut;9
Realitas sebagai totalitas kebenaran konseptual. Bahwa realitas bersifat rasional, suatu totalitas konseptual; bahwa realitas merupakan suatu pemikiran yang absolut atau pemikiran Tuhan, suatu struktur terpadu dan total dari kebenaran konseptual. Konsekuensi dari pandangan ini adalah pendapat bahwa Realitas sebagai pemikiran Absolut. Untuk Hegel, realitas adalah pemikiran absolut, berisikan totalitas kebenaran konseptual, yang membuka diri diseluruh area pengalaman manusia dan pengetahuan dari logika samapi fisika hingga biologi, dari sejarah dan politik hingga seni, agama dan filsafat.
“Kenyataan adalah hal rasional dan hal rasional adalah merupakan kenyataan” Sebagaimana Plato, Hegel mengakui bahwa rasionalitas, konsep dan ide adalah suatu yang nyata. Hegel memenuhi visi absolutnya dengan kaya ragam dan detail konkrit mengenai jiwa absolut, mengenai Tuhan yang merupakan realitas total, dan kebenaran yang memebuka diri pada pemikiran terbatas kita di setiap area pengetahuan manusia.
Jika dibandingkan dengan pendahulunya, Hegel nampak lebih membuka diri untuk menerima ketidak terbatasan pikiran manusia. Kemudian dia berpendapat bahwa Rasional adalah keberadaan objek yang “dipahami lebih mendalam lagi” Yang menjadi pertanyaan dari pernyataan Hegel adalah apakah hanya rasionalitas yang dapat dikategorikan kenyataan konseptual?. Idealisme Absolut mengakui keberadaaan untuk menemukan rasionalitas, kebenaran konsep yang merupakan intinya. Inilah yang memebedakannya dengan idealisme Plato. Bagi Plato, ide-ide abadi berada secara terpisah dan mandiri dalam bidang yang bisa dimengerti mereka sendiri dalam perubahan yang secara terus menerus. Hal ini menunjukkan ketidak jelasan dalam pemisahan tersebut, dan Hegel menjelaskannya bahwa konsep rasional tidak memiliki pemisahan, keberadaan mandiri berbeda dari hal-hal duniawi. Konkret tetapi merupakan inti rasional mereka. .
Inilah arti realitas bagi Hegel. Realitas merupakan kebenran menyeluruh yang ditangkap oleh ide rasional kita. Realitas merupakan kebenaran absoulut, juga totalitas dan penggabungan dari semua bagian kebenaran termasuk kebenaran terbatas. Realitas yang secara baik dimengerti adalah totalitas kebenaran pemikiran absolut. Dan keyakinannnya tersebut didapatkan dengan metode dialektika sebelumnya. Bagaimana dia mensintesiskan antara idealisme subjektif dan idealisme objektif yang sama-sama meiliki keterbatasan dan kekurangan (kelemahan).

C. 1 Absolut Idealisme Hegel pada Alam dan Pandangan Metafisika
Setelah kita melihat sisi-sisi idealisme absolut Hegel, yang dirasa penting diungkap disini adalah pandangannya tentang alam. Menurut Hegel, Natur atau alam yang objektif adalah riil dalam arti bahwa ia ada dan menuntut perhatian dari dan penyesuaian diri dari kita. Mekipun begitu alam tidak dapat berdiri sendiri, karena alam yang objektif bergantung, sampai batas tertentu, kepada mind (jiwa, akal). Kaum idealis seperti Hegel, percaya bahwa manifestasi alam yang lebih dahulu dan lebih tinggi adalah lebih penting dalam menunjukkan sifat-sifat prosesnya darpada menifestasi yang lebih dahulu dan lebih rendah.
Kemudian Hegel juga menekankan akan adanya kesatuan organik dari proses dunia. Menurutnya keseluruhan dan bagian-bagiannya tidak dapat dipisahkan kecuali dengan menggunakan abstraksi yang “membahayakan”, yakni yang memusatkan perhatian terhadap aspek-aspek tertentu dari benda dengan mengesampingkan aspek-aspek lainnya yang juga penting. Menurut sebagian dari kelompok idealis, terdapat kesatuan yang dalam, suatu rangkaian tingkatan yang mengungkapkan, dari materi melalui bentuk tumbuh-tumbuhan kemudian melaui bentuk binatang hingga sampai kepada manusia, akal dan jiwa. Dengan begitu maka prinsip idealisme yang pokok adalah kesatuan organik. Kaum idealis condong untuk menekankan teori koherensi atau konsistens dari percobaan kebenaran, yakni suatu putusan akan benar jika ia sesuai dengan putusan-putusan lain yang telah diterima sebagai yang benar.10
Hal ini sangat bersesuaian dengan pandangan kesatuan dalam keberagaman dalm pemikiran bahwa Pemikiran absolut sebagai satu kesatuan dalam keberagaman. Pemikiran absolut merupakan suatu totalitas yang disatukan dari seluruh kebenaran rasional, bahkan merupakan penyatuan keberagaman dalam suatu kesatuan yang koheren. Pikiran yang absolut menurut Hegel adalah suatu kesatuan dalam keberagaman, satu istilah untuk mewakili perbedaan perbedaan, satu nama yang mencakup segalanya. Pandangan Metafisikanya, menurutnya metafisikalah yang mampu menyatukan keberagaman komponen ralitas, batas-batas mereka dan hubungan dalamm suatu kesatuan totalitas. Pemikiran absolut, menurut Hegel merupakan satu realitas yang membuka dirinya sendiri untuk kita dalam konsep-konsep seluruh bidang pengalaman manusia. Dimana setiap realitas menghasilkan suatu kebenaran pandangan realitas, namun setiap realitas hanya menghasilkan sebuah batasan parsial dan pandangan yang tidak sempurna. Tugas metafisika sebagai sebuah teori tentang semua realitas adalah untuk mengidentifikasikan semua dimensi ataupun semua spek realitas semua jalan yang nyata daalm keberagaman dan kompleksitas yang ditangkap oleh konsep-konsep kita dan menunjukkan batas setiap dimensi realitas serta bagaimana keduanya saling terkait.

D.Kesimpulan “Sebuah Penilaian terhadap Idealisme”
Setelah kita melakukan petualangan singkat dalam sejarah intelektual filosofis tiga tokoh utama idealis, yaitu Berkeley, Kant dan Hegel kita dapat mengetahui bahwa idealisme secara umum berkembang dalam sebuah perenungan maupun perdebatan pemikiran baik itu dalam corak idealisme maupun jawaban terhadap ide-ide lainnya. Bahkan hal itu dimulai sejak Plato, dan mungkin akan terus dipikirkan sampai detik ini. Kenyataan bahwa idealisme telah hidup dan berkembang selama berabad-abad menunjukkan bahwa ia memang sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia.
Mungkin dalam hal ini Hegel dapat dikatakan telah mampu mencari titik temu antara kecenderungan Kant maupun Berkeley, tentu dengan dialektikanya. Sebagai contoh idealismenya pada alam, menunjukkan bahwa alam tersusun dari keberagaman dan itu sebenarnya satu. Sehingga disini nilai-nilai moral yang diangkat Kant dan juga agama yang disinggung Berkeley terdapat dalam “alam” sebagai sebuah kesatuan. Dari usaha mereka dalam menjalani kehidupan yang lebih baik, para idealis, terutama Hegel mengisyaratkan bahwa banyak yang merasakan adanya kekuatan yang berada di luar diri kita yang memberi kita kekuatan dan pemikiran. Idealisme menegaskan bahwa jiwa dan nilai secara struktural adalah bagian dari alam. Sebagaimana kata Hegel, bahwa kita dapat merasa tenteram dan merasa “at home” dirumah sendiri dalam alam ini.
Akan tetapi para kritisi idealisme mengatakan bahwa filsafat itu kabur dan abstrak dalam istilah-istilahnya, Ia hanya merupakan perhatian tradisional dan kekurangan pandangan ilmiah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa idealisme condong untuk menempatkan sikap keakhiratan yang ketinggalan zaman, dan hal ini membawa kepada stagnasi dan bahkan kemunduran pemikiran itu sendiri. Akan tetapi saya rasa kritikan ini terlalu naïf, karena dalam kritikya dia terjebak pada kedangkalan dalam memaknai sisi spiritualitas ataupun sesuatu yang transenden, dan tidak melihat pergulatan pemikiran idealis pada para tokoh-tokoh yang kita angkat sebelumnya Bagaimanapun juga, pandangan idealis tidak akan pernah menjadi absolut terhadap yang lainnya, hatta Hegel sekalipun yang dikatakan sebagai idealisme absolut, karena ia akan berbenturan dengan banyak persoalan yang bertebaran dalam alam ide maupun materi ini.
Dan kritikan juga datang dari penentangnya yang paling frontal, yaitu kaum realis, bahwa idealisme menuju kepada hal-hal yang ada di luar bukti-bukti empiris dan justru mengarah kepada hal-hal yang bersifat harapan dan imaginasi saja. Kemudian hal ini mengarah kepada pandangan aksidental dan essensial pada sisi materi. Menurut idealis, eksistensi itu bersandar pada akal, maka kelompok realis menjawab dipersepsikan merupakan sesuatu yang aksidental dalam benda, padahal eksistensi adalah sesuatu yang essensial. Saya rasa kritikan ini juga sudah terjawab dalam pandangan Berkeley maupun Kant.
Terakhir yang ingin saya katakan adalah idealisme telah menemukan momentumnya tersendiri, idealisme berkembang dengan kekuatannya dan kepercayaannya, tentu ini didukung dengan berbagai argument, baik berupa subjektifisme, objektifisme, trnasendentalime, maupun absolutisme. Apapun bentuknya harus dilihat bagaimana dia mengungkapkan argumennya kepada public. Kekuatan idealisme tidak hanya terletak dalam diri seorang pemikir maupun filsosof idealis tetapi telah terabadikan dalam pikiran-pikirannya yang terpatri dalam mental dan spiritual kehidupan pengikutnya. Idealisme telah mengembangkan sayapnya dengan penjelasan ilmiah rasional tentang alam, sebagaimana Hegel, tentang Agama sebagaimana Kant dan Berkeley.


****************************************************
BIBLIOGRAFI
· Routledge History of Philosophy. Volume IV. The Age of German Idealism.
· Falckenberg, Richard. History Of Modern Philosophy [E-Book #11100]
· Titus, H Harold and Smith, S Marilyn. Persoalan-persoalan Filsafat. Bulan Bintang. Jakarta. 1984
· Lavine. TZ. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Jendela. Yogjakarta: 2002
· Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Rosda Karya. Bandung: 2003
· Hegel, GWF. Lectures on The History of Philosophy Vol.III. Thoemmes press. Virginia: 1999
· Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius. Yogjakarta: 1975
· Durrant, Will. The Story of Philosophy, New York: 1959
· Hardiman. F. Budi. Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Neithche. Gramedia. Jakarta. 2004
· Kenny, Anthony. The Rise of Modern Philosophy. Volume 3. Clarendon Press. Oxford; New York. 2006 (PDF file)

Muhammad Abduh Ali Saputra BM


Serpong, 30 Juni 2009

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda