damaiduniaku

kedamaian akan menunjukkan dirinya pada dunia..... Sambut dan berdamailah dengannya....

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, Jakarta, Indonesia

Seorang Anak Manusia yang mencari jati dirinya...

Senin, 07 September 2009

Mendobrak Pintu Rasionalisme
Ala “Harun Nasution”

Abstraksi.
“Meskipun pemikiran keagamaan bisa aja bermula dari renungan perorangan, tetapi sebagai gejala “sejarah intelektual” kesemuanya baru berarti dalam konteks komunitas islam. Bukan pemikiran per se yang menjadi sasaran utama, tetapi pemikiran keagamaan yang telah terlibat dalam proses dialog dengan komunitas yang merupakan konteks kehadirannya. Jadi, meskipun bertolak dari wacana keagamaan yang bercorak “elitis” (hanya sekelompok kecil yang terlibat langsung), perhatian utama harus diarahkan pada situasi sosio-kultural, yang sekaligus menjadi wadah dari proses pemikiran dan diskursus keagamaan serta suasana yang ikut diciptakannya”

Pendahuluan.
Indonesia pantas berbangga, karena adanya seorang pemikir yang telah berusaha dan bisa dikatakan berhasil membangunkan masyarakat Indonesia dari tidur panjang kemunduran intelektual. Dialah Harun Nasution, seorang yang menurut saya adalah sosok yang dengan gebrakannya mampu mengangkat kesadaran intelektualisme bangsa Indonesia. Dengan neo-rasionalisme yang ditawarkannya, ia berusaha mendobrak pintu keterpurukan intelektual yang sedang mendera sebagian besar masyarakat Indonesia.
Karena alasan dan kekaguman saya itulah, dalam makalah singkat ini, akan mencoba untuk mengangkat “sejarah intelektual” seorang Harun Nasution. Bagaimana sebenarnya pemikirannya tumbuh dan berkembang serta memberi pengaruh yang cukup kuat di dunia pendidikan khususnya. Karena bagaimanapun juga, pemikiran itu tumbuh tidak hanya dari perenungan semata, tetapi juga adanya kondisi lingkungan yang turut menciptakan pemikiran tersebut. Bagaimana pandangannya tentang kondisi intelektual masyarakat Indonesia, dan apakah sebenarnya yang ditawarkan Harun dengan rasionalisme-nya, dan bagaimana sebenarnya gebrakan yang dilakukannya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berusaha akan dijawab untuk menunjukkan seberapa besar peranan Harun Nasution dalam usahanya mendobrak pintu rasionalitas tersebut. Atau paling tidak akan terlihat pengaruhnya pada situasi sosio-kultural dan sekaligus menjadi wadah dari proses pemikiran dan diskursus keagamaan serta suasana yang ikut diciptakannya selanjutnya.
Sebagai pemikir dari salah satu generasi pemikir Indonesia, Harun Nasution termasuk pada garis paradigma atau genre pemikran kontemporer. Pada periode terdahulu, yaitu periode pasca kolonial atau sebelum itu, watak pemikiran ke-indonesiaan merupakan refleksi perlawanan terhadap penjajahan, khususnya penjajahan fisik melalui represi militer dan politik. Di masa generasi Harun Nasution, pemikiran ini bergerak melalui pencarian makna akan realitas dan modus baru bagi kehidupan bangsa Indonesia, tertutama bagi pendidikan umat Islam.
Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Sebagai contoh, di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.
Itulah beberapa “thesis statement” yang menjadi pembicaraan dalam makalah singkat ini. Dalam pendahuluan, akan dibahas biografi intelektual secara singkat dan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia pada zaman itu. Kemudian pada inti makalah, saya akan berusaha menunjukkan beberapa pemikiran rasionalitas Harun Nasution, khususnya dalam pemikiran keislaman dan teologi, yang menurutnya adalah menjadi tema sentral yang menetukan cara pandang dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Dan hal itu tentu saja dapat tercipta dengan sepak terjangnya dalam sebuah gebrakan teologis dan gebrakan praktis akademis. Dan apakah ini berhasil? Dan terakhir adalah bagian penutup. Pada bagian ini, pemakalah akan berusaha mengambil sikap dalam melihat bagaimana sebenarnya pemikiran yang ditawarkan Harun Nasution dalam konteks keislaman dan keindonesiaan serta mencoba memberikan beberapa kritik ataupun dukungan terhadap pemikiran dan capaiannya.

A. Biografi Intelektual.1
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiatar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 23 September 1919. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki Jabatan Qadi, penghulu, kepala agama dan Imam masjid. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putri ulama asal Mandailing, dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai berbahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.
Pendidikan sebagai hal terpenting dalam kehidupannya, ditempuh Harun dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS) selama 7 tahun, dan dalam masa itu dia berkesempatan memepelajari Bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan Umum. Setelah itu ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) selama tiga tahun. Dan setelah itu dia meneruskan ke MULO, dan sejak itulah Harun mulai tertarik mempelajari Islam, karena sangat modern di tangan pengajar seperti, Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek. Dan sejak itulah pengaruh pendidikannya ini akan menjadi titik awal sebuah pemikiran Harun yang lebih rasional.
Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Mekkah, tetapi Nasution merasa tidak mendapat apa yang diinginkanya dan akhirnya pada tahun 1938 ia memutuskan untuk pergi ke Mesir. Disana harun kuliah di fakultas Ushuluddin pada Universitas Al Azhar dan mencoba mendalami Islam. Akan tetapi ketidakpuasan kembali menyelimutinya, dan akhirnya dia pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo. Di universitas ini Harun tidak mempelajari Islam, melainkan ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Sehingga pada akhirnya tahun 1952 Harun mendapatakan gelar BA dalam bidang Sosial Studies dengan nilai sangat memuaskan. Dari sinilah Harun mulai menyadari lebih jauh tentang konsep keindonesiaan khususnya di bidang sosial, masalah perburuhan. Ini juga sangat dipengaruhi oleh organisasi yang diikiutinya, yaitu PERPINDOM (perhimpunan Pelajar Indonesia dan malaysia).
Dalam karir kehidupan kerjanya, dengan kemampuan berbahasa Arab, Inggris dan Belanda, ia diangkat sebagai pegawai di Konsulat Indonesia di Mesir. Dan beberapa tahun kemudian, Ia dipanggil pulang untuk bekerja di Departement Luar Negeri Jakarta, hingga akhirnya ia ditempatkan di Brusel Belgia, sebagai sekertaris Kedubes. Pada waktu itulah, sedang terjadi gejolak politik di Indonesia, yang membuat Nasution dalam posisi yang kurang diuntungkan. Ia dituduh sebagai pendukung atau simpatisan bagi kelompok pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Selain itu sikap anti PKI dan anti Soekarno menyebabkan ia berhenti dari karier diplomatiK. Bahkan ia masuk daftar hitam dan dicekal tidak boleh kembali ke Indonesia dan bahkan Mesir.
Akan tetapi, setelah beberapa tahun, Harun Nasution dapat kembali ke Mesir dan meneruskan studinya di Sekolah Tinggi Studi Islam dibawah asuhan Muhammad bin Abi Zahrah. Pada kesempatan kedua inilah, pada tahun 1962 Harun mendapatkan tawaran dari HM Rasyidi untuk Studi Islam di McGill University, Monteral, Kanada. Selama di McGill, Harun tidak menyia-nyiakannya dan disana Ia mengambil konsentrasi kajian tentang “Modernisme dalam Islam”. Dalam thesisnya dia menulis mengenai “The Islamic State in Indonesia: The rise of Ideologi, the Movement for its Creation and the Theory of Masyumi”. Setelah itu, Ia melanjutkan studinya untuk memperoleh PhD, dan menyelesaikannya dengan disertasi di bidang ilmu Kalam (Theologi) dengan judul “the Place of Reason in Abduhs, Its Impact on His Theological System and Views” yaitu kedudukan akal dalam Teologi Muhammad Abduh, pengaruhnya pada Sistem dan pendapat-pendapat Teologinya pada tahun 1968. Setelah meraih gelar doktor, Harun Nasution kembali ke Indonesia dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam di Indonesia melalui Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Walaupun ia berada di luar negeri, Harun selalu mengikuti perkembangan di tanah air. Ia berpendapat bahwa masyarakat Muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya teologi Ahl Sunnah dan Ash’ariyah harus bertanggung jawab atas kemandegan ini, yang menyebabkan kaum muslim berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prsyarat pembangunan umat. Inilah mengapa Harun Nasution ingin mengubah pandangan fatalistik menuju pandangan yang lebih dinamis, rasional dan modern. Dan untuk mewujudkan tujuannya ini, harun memilih dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Walaupun pada awalnya, kehadiran Nasution belum bisa diterima sepenuhnya oleh kalangan akademis tetapi dia tetap yakin mampu merubah paradigma yang salah di IAIN. Dan pada akhirnya, ia diangkat menjadi Rektor, dan mungkin ini tidak lepas dari peran seorang Mukti Ali yang juga lulusan McGill dan berpandangan yang terbuka. Hal ini menjadikan Harun lebih leluasa dalam menyebarkan ide-ide penmbaharuannya. Dan pada tahun 1984 Harun Nasution dipercaya sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif hidayatullah Jakarta hingga akhir hayatnya. Dan berkat kesungguhannya dalam mengelola Pasca-sarjana inilah, telah lahir ratusan doctor dalam bidang ilmu agama Islam yang kini mempunyai pengaruh yang cukup signifikan di Indonesia.
Ditengah-tengah kesibukannya memberi kuliah dan memimpin UIN Jakarta, Harun Nasution juga tercatat produktiff dalam bidang karya ilmiyah. Diantara karya-karyanya adalah; Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Pembaruan dalam islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan, Filsafat Agama, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Teologi Islam; aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, dan yang buku yang berasal dari disertasinya sendiri yaitu Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Saya rasa dari buku-buku inilah kita dapat melihat lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran harun Nasution. Akan tetapi dalam makalah ini akan berusaha memfokuskan dalam pandangan teologi dan pemikiran rasionalnya. Yaitu kajian terhadap dua bukunya; Muhammad Abduh dan Teologi Rasional dan buku Islam Rasional.

B. Pendekatan Akademik dan Pemikiran Rasionalnya
Harun Nasution menjalani kegiatan akademiknya dalam atmosfir keilmuan yang amat berbeda, sehingga langkah-langkah revolusionernya sangat bertentangan dengan tren umum yang berlaku pada masanya. Dia berusaha menghentikan model pemikiran lama agar bisa memberi jalan bagi berkembangnya model pemikiran prulalis serta mendorong munculnya pemikiran pribadi yang bebas. Dia menentang supremasi pemikiran keagamaan yang secara tradisional berada di bawah kekuasaan tokoh-tokoh tertentu, seperti kyai dan ulama. Dia pernah menyatakan bahwa ilmu agama tidak boleh didasarkan pada wahyu, tetapi juga pada fakta sejarah dan penafsiran budaya. 2
Dalam pandangan Nasution, Islam dapat diklasifikasikan menjadi aspek doktrinal dan nondoktrinal. Jika aspek doktrinal dari Islam berkenaan dengan masalah pokok-pokok keyakinan dan kewajiban menjalankan ritual, maka aspek non-doktrinal mencakup seluruh produk Islam historis. Namun, aspek doktrinal tersebut, menurutnya masih dibedakan antara yang fundamental, yaitu terkait dengan ajaran Al Qur’an dan Hadis, sedangkan yang non fundamental yaitu yang terkait dengan interpretasi dari doktrin itu sendiri yang mengarah kepada perkembangan aliran pemikiran atau mahzab yang berbeda-beda. 3 Mungkin hal ini sudah tidak asing lagi bagi kalangan akademik sekarang, akan tetapi jika kita lihat masa itu, maka akan sangat berbeda. Bahkan pembedaan itu masih tertutup dikalangan salaf tradisional konservatif.
Jika kita lihat posisi Nasution dalam kehidupan akademik maupun corak pemikirannya, maka akan sangat berbeda dengan para pemikir semasanya, seperti Ahmad Dahlan, Agus Salim dan Muhammad Natsir. Para tokoh yang terakhir ini adalah mereka yang terkait langsung dengan gerakan pembaruan, baik dalam bentuk organisasi sosial maupun partai politik Islam. Walaupun mereka boleh dibilang terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh, akan tetapi tentu cara mereka menanggapinya berbeda dengan Nasution. Kebanyakan mereka belajar dengan bimbingan seorang tutor ataupun otodidak, sedangkan Nasution mempelajari Islam sebagai kajian murni akademik. Hal ini bisa dimaklumi, karena mereka selalu berbenturan dengan persoalan masyarakat disekitarnya, sehingga mereka harus terlibat langsung dalam gerakan praktis pembaruan dan berusaha menggelorakan semangat pembaruan itu sendiri. Bahkan kajian Islam yang murni belum menjadi tuntutan bagi umat muslim Indonesia pada waktu itu.
Sebaliknya, Nasution mengambil jalan lain dengan arus yang berbeda dari para pembaharu lainnya. Ia lebih memfokuskan perhatiannya pada kajian intelektual di lingkungan dunia akademik. Dia yakin bahwa dalam rangka memperbaiki kajian keislaman di Indonesia, gerakan dan gebrakannya mampu “berbicara” dan hal ini berbeda dengan para tokoh reformis lainnya. Pada dasarnya Nasution lebih terbuka terhadap berbagai pandangan yang berbeda-beda, sehingga audiennya dapat menentukan sendiri pilihan mereka. Berbeda dengan tokoh lainnya, misalnya HM Rasyidi, yang meskipun bisa dikatakan terbuka tetapi kalau dilihat lebih jauh dia berusaha mengarahkan audiennya di dalam menentukan pilihan mereka.4 Disinilah letak kebebasan yang ditawarkan Nasution, dan ini yang menjadikan cirri pendekatan akademik yang ditawarkannya, sebuah kebebasan dalam berpikir dan mengambil sikap tanpa paksaan.
Dalam hal ini, Nasution kelihatannya yakin akan kapasitas intelelektual pembacanya dalam memahami kebenaran yang ditawarkannya. Bukan berarti, dia tidak memperhatikan aspek keimanan para pembaca pikirannya, tetapi dia percaya bahwa umat Islam akan dapat mencapai kematangan intelektualnya dalam mengambil sikap yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dia mengambil tempat di dunia akademik, terutama di kalangan IAIN yang menurutnya adalah kalangan yang siap dan menjadi kunci pembaharuan Islam di Indonesia. Disini Nasution sengaja membiarkan pembacanya untuk menelaah secara mandiri baik dari sisi positif dan negatif dari sejarah Islam.
Pandangan-pandangan Nasution untuk mendorong pembaruan suasana akademik di IAIN secara subtansial telah dirumuskan di dalam karyanya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Melalui karya ini, Nasution menyajikan Islam dalam perspektif yang lebih luas, meliputi banyak aspek. Islam bukan hanya fikih, tauhid, tafsir dan akhlak. Islam bisa dikaji dari berbagai aspek seperti sejarah, budaya, filsafat, tasawuf, teologi, hokum, institusi dan politik. Namun, dia menegaskan bahwa Islam tetap satu. Menurutnya, para ulamalah yang menjadikannya bermacam-macam, padahal tidak mungkin orang bisa memahami hakikat Islam yang sebenarnya seperti yang diamaksudkan Tuhan. Sebagai buku diktat, buku tersebut dimaksudkan untuk menelaah ajaran pokok Islam dalam perspektif sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Dengan pendekatan seperti itu, diharapkan penyajiannya lebih komperhensif terhadap doktrin Islam dan juga menggunakan metode yang benar di dalam memahaminya. Nasution menggunakan pendekatan ini untuk menghilangkan fanatisme mahzab dan memahami dalam konteks sosiologis dan historisnya. Bahkan dia sering menyerukan untuk menyatakan pandangan secara bebas dan bahkan dengan ungkapan yang lebih ekstrim, bahwa masih dmungkinkan untuk mendirikan mahzab baru selama ia memiliki landasan yang kuat.
Dalam melihat pemikiran rasionalnya, kita dapat melihat dalam karya utamanya yaitu Teologi Islam dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Isi pokok kedua karya ini merupakan bagian dari disertasi Nasution tentang pemikiran teologi Abduh yang ditulis 1968. di dalam dua karya ini, Nasution mencoba menganalisis sifat dasar pemikiran teologi Muhammad Abduh dengan membandingkannya dengan Mu’tazilah, Maturudiyah dan Asy’ariyah. Disini Nasution memandang bahwa teologi sangat penting didalam mengetahui sebuah agama secara lengkap. Akan tetapi, teologi yang ditawarkan Nasution lebih bersifat filosofis dan kajian yang mendalam, berbeda dengan genre pengajaran teologi yang ada di Indonesia yang umumnya di dominasi oleh teologi Asy’ariyah saja. Inilah medan pertempuran teologi rasional yang digagas Nasution dalam mengembangkan pemikiran rasional yang terbuka dan bebas.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan disini adalah apa motif Nasution dalam mengambil pandangan rasionalitas Abduh dan dia sangat tertarik dengan teologi Mu’tazilah. Inilah yang mungkin dapat saya katakan sebagai latar belakang munculnya pemikiran rasional Nasution. Di dalam melihat konteks pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana kita ketahui bahwa Abduh dihadapkan pada masalah kemunduran umat Islam ketika berhadapan dengan dunia Barat serta usahanya untuk dapat mengangkat posisi umat islam dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada rasio. Tampaknya bisa dipahami jika Nasution terobsesi untuk dapat mengaplikasikan pandangan-pandangan Muhammad Abduh di Indonesia. Dia yakin bahwa umat Islam doii Indonesia berada pada posisi yang sama dengan bangsa Mesir ketika Abduh mulai menyebarkan ide-ide teologisnya.
Seperti halnya dengan Abduh, melalui doktrin Mu’tazilah dan semangat rasionalnya Nasution mencoba untuk mendobrak pintu rasionalisme masyarakat Islam Indonesia. Jelas nampak dalam karya-karyanya Nasution mencoba untuk menggairahkan rasionalisme untuk mengeliminasi dampak negatif dari tradisionalisme. Dia berharap bisa menggunakan ide-ide Abduh dan kalam Mu’tazilah sebagai basis untuk membangun filsafat dan teologi Islam yang rasional dan modern. Lebih lanjut Nasution menegaskan bahwa umat Islam mau beradaptasi dengan modernitas, dan konsekuensinya adalah menggantikan pandangan teologis mereka dari Asy’ariyah menjadi Mu’tazilah ala Abduh. Menurutnya rasionalisme teologi mu’tazilah adalah prasyarat modernisasi Islam. 5 Hal ini tidak berarti bahwa mereka telah keluar dari Islam sebagaimana yang dipahami oleh kalangan salaf tradisionalis. Yang mungkin menjadikan pembeda dari semangat membangun Islam modern yang mampu bersaing dengan Barat, adalah masyarakat Indonesia sebagaimana Nasution tetap mempertahankan sikap yang saleh yang menjadi ciri utama tradisi tradisionalisme Islam. Atau kalau boleh dibilang dengan istilah sekarang “Think global, act local” sangat cocok dengan kondisi dan sikap penduduk Indonesia.

C. Mendobrak Rasionalisme melalui Teologi Mu’tazilah
“Sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan samapai hari ini, kedudukan umat Islam dalam sejarah akan berlainan sekali dengan kedudukan mereka sekarang. Sikap lekas menyerah pada nasib membuat umat Islam lemah; paham fatalisme melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakal membuat mereka senantiasa dalam keadaan statis” (Ahmad Amin)
Dari kutipan Nasution terhadap karya Ahmad Amin, dalam Dhuha al-Islam, menunjukkan keinginannya dalam mempelajari teologi Mu’tazilah dan mencari pusaran rasionalitas yang ditawarkannya. Dalam sebuah karyanya tentang teologi Islam, Nasution menegaskan bahwa pada masa modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran Mu’tazilah yang bercorak rasional tersebut telah mulai hidup kembali dan bisa diterima oleh umat islam, khususnya di kalangan terdidiknya. Mereka telah mengadopsi, meskipun tanpa disadari, beberapa pandangan yang dekat dengan doktrin Mu’tazilah. Namun, perlu ditegaskan bahwa mengadopsi pandangan seperti itu tidak harus berarti telah menjadikan mereka keluar dari Islam arus utama.
Akan tetapi, pandangan ini tentunya tidak semulus yang dia harapkan. Bahkan masyarakat Indonesia pada waktu itu belum bisa sepenuhnya menerima pandangan rasionalisme Harun Nasution. Bahkan Nasution sebagaimana sebuah ikan yang mencoba melawan arus tradisionalisme Asy’ariyah yang deras mengalir di Indonesia.
Sebagaimana sebuah pandangan yang muncul dikalangan akademis, tradisi kritis selalu terbuka dan menjadi cara dalam setiap progesifitas ilmu pengetahuan. Disini kritik muncul kemudian, diantaranya oleh Martin dan kawan-kawan yang menurut mereka Nasution tidak cukup dalam referensi karyanya. Sebagaimana juga kritik senada muncul dari kalangan akademis Indonesia, Fauzan Saleh yang menurutnya Nasution kurang memiliki akses pada karya-karya para sarjana barat tentang teologi, khususnya Mu’tazilah. Hal ini mungkin karena pada waktu dia menyelesaikan studinya di McGill, para sarjana barat belum banyak memberikan perhatian kepada masalah teologi Islam, apalag Mu’tazilah. Namun patut disayangkan jika Nasutin tidak merujuk kepada Montgomery Watt, Free will and Predestination (1948), yang juga membahas teologi Mu’tazilah.6
Akan tetapi, pembahasan Nasution tentang Mu’tazilah, meskipun cukup singkat, telah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai pemikiran teologi Islam. Bisa jadi dialah orang pertama yang menguraikan teologi Mu’tazilah secara adil dan objektif bagi khalayak pembaca di Indonesia. Walaupun, memang benar bahwa sebelum dia, telah memperkenalkan Teologi Mu’tazilah, namun mereka cenderung menyajikannya secara kurang mendalam dan kadang-kadang kurang objektif dan dalam bentuk yang kurang memenuh setandar penulisan akademik. 7

D. Kontribusi Nasution dalam Mendobrak Pintu Rasionalisme di Indonesia.
Akhirnya, sebagai kilas balik dalam kisah “sejarah intelektual” seorang Harun Nasution adalah menunjukkan beberapa kontribusinya dalam mengembangkan wacana teologi Islam di Indonesia. Suatu penilaian yang cukup menarik dikemukakan oleh Nurcholish Madjid tentang Nasution, yang ditulis dalam sebuah artikel berjudul “Abduhisme Pak Harun”. Menurut Cak Nur, nasution telah berhasil membangun sebuah tradisi intelektual baru di kalangan mahasiswa IAIN. Hal itu tercermin dari adanya kecenderungan umum para mahasiswa yang memiliki sifat lebih terbuka dan kritis, terlihat dari usaha mereka dalam mengkkaji ulang doktrn dalam konteks hstorisnya. Semua langkah ini telah ditempuh Nasution untuk mengembangkan apa yang disebut learning capacity, suatu upaya yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya. Melalui upaya-upaya ini, kreativitas akademik di lingkungan IAIN berkembang cukup pesat. 8
Pengaruh terbesar Nasution terletak pada upayanya memperkenalkan pendekatan baru dalam mengajarkan teologi dan filsafat Islam. Dalam bidang teologi, nasution berhasil menjadkan subjek ini mudah bagi mahasiswa untuk mempelajari berbagai kontroversi yang muncul, sehingga mereka mengkaji ulang dasar-dasar keyakinan mereka. Dengan mempelajari kalam dengan pendekatan yang lebih maju seperti ditawarkan oleh Nasution, umat Islam akan dapat mempelajari persoalan doktrin mereka dengan lebih cerdas. Berkaitan dengan dorongan Nasution untuk mengembangkan pandangan yang rasional dalam kehidupan beragama, Cak Nur menjelaskan bahwa sangatlah perlu mendidik umat Islam agar mereka dapat memahami agama mereka secara rasional. Rasionalitas mendominasi seruan al Qur’an untuk beriman.
Dengan membuka pintu rasionalitas di dalam keyakinan beragama, Nasution telah membuat terobosan amat besar untuk mengembangkan wacana teologi dalam kehidupan akademik hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Obsesinya dalam memperkenalkan teologi Mu’tazilah atau meminjam ucapan Martin dan kawan-kawan “menasirkan ulang Mu’tazilisme dalam konteks Indonesia Modern” mengandung dua misi penting, pertama rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk berwawasan terbuka dan, bersedia menerima liberalisme (inilah yang akan digagas Nurcholish Madjid selanjutnya). Dan kedua pengakuan akan adanya kapasitas diri manusia dalam pengertian Qadariyah tentang adanya kebebasan kehendak. Bahkan lebih jauh lagi Nasution telah berusaha menjadikan Islam lebih fungsionalis, dan bukan hanya symbol dar perasaan dan emosi keagamaan saja.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Nasution telah berhasil menyelesaikan tugas besar yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapapun sebelum dia. Dia telah membuat berbagai terobosan yang memungkinkan anak-anak muda dapat menikmati kebebasan berekspresi berkaitan dengan permasalahan doktrin keagamaan mereka. Islam telah disajikan dalam bentuk yang lebih terbuka sebagai suatu objek kajian yang kritis. Kemunculan Nasution dalam kancah akademik Islam dapat dipandang sebagai bentuk pembaruan yang lain dalam bidang pemikiran teologi. Dan dia telah berhasil mendobrak pintu rasionalisme masyarakat Indonesia yang sebelumnya tertutup oleh fanatisme mahzab dan kesempitan pandangan salaf taradisionalisme yang kurang bisa menerima keterbukaan dan rasionalitas.

E. Kesimpulan.
Setelah kita melihat petualangan Harun Nasution dalam “sejarah intelekltual”nya dapat kita lihat berbagai hasilnya yang telah kita rasakan sampai sekarang, khususnya sebagai kalangan akademik. Akan tetapi yang harus kita lakukan dalam melihat pemikiran Harun Nasution adalah kita harus menempatkannya dalam konteks pemikiran yang sedang berkembang di Indonesia saat itu, dan kita lihat bahwa dia melakukan usaha yang sama sekali baru dan berbeda dari genre pemikiran yang ada. Akan tetapi keberhasilannya tidak tertutup dalam kurungan waktu dan tempat, tapi pemikirannya terasa membebaskan sampai sekarang. Dia telah berhasil mendobrak pintu rasionalisme dengan penyadaran akan teologi rasional Mu’tazilah dan sebuah gebrakan akademis yang telah menghasilkan para pemikir-pemikir terkenal di Indonesia
Gagasan dan pemikiran Harun Nasution sebagaimana telah kita lihat, diharapkan masih terus dipelihara dan dikembangkan di berbagai tingkatan masyarakat khususnya di jenjang perguruan tinggi di Indonesia. Pemikiran rasionalitasnya, walaupun dengan pendekatan teelogi, telah mampu menggairahkan semangat rasionaitas dan keterbukaan di Indonesia.

BIBLIOGRAPHY
· Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 1999
· Muzani, Saiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof Dr Harun Nasution. Bandung. Mizan, 1996
· Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987
· __________, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta. UI-Press, 1979
· __________, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986
· Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2005
· Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan. Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta. Serambi, 2004
· Tim Penulis. Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam; 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.s
· "http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution"



Muhammad Abduh Ali Saputra BM

Serpong, 16 Juni 2009

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda