damaiduniaku

kedamaian akan menunjukkan dirinya pada dunia..... Sambut dan berdamailah dengannya....

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, Jakarta, Indonesia

Seorang Anak Manusia yang mencari jati dirinya...

Senin, 07 September 2009

NASIRUDDIN AL-TUSI (1201 – 1274 M) Filsuf Sosio-Politik Islam


NASIRUDDIN AL-TUSI
(1201 – 1274 M)
Filsuf Sosio-Politik Islam
By: Abduh Muhammad
Pendahuluan
Invasi Mongol seakan menjadi sejarah kelam peradaban Islam. Kekhalifahan Abasiyah telah runtuh, dan pemerintahan ala Mongol telah memulai periode baru. Disisi lain, pasca invasi Mongol juga menandai periode kebangkitan dan perkembangan Syiah Imamiyah. Dalam beberapa aspek tertentu, bangsa Mongol berperan sebagai pembebas kaum Syiah, bahkan memberikan mereka kedudukan sosial yang cukup penting. Populasi Syiah bertambah besar seiring dengan tumbuhnya kepercayaan bangsa Mongol dalam urusan administrasi pemerintahan. Hal ini terjadi, tidak lain karena Mongol adalah bangsa bar-bar yang tidak mengerti usrusan pemerintahan, sehingga hal itu banyak dipercayakan kepada orang-orang Persia, yang kebanyakan penganut Syiah.
Akan tetapi, dibalik kejadian itu telah dimulai sebuah kebangkitan intelektual baru. Seorang tokoh yang menjadi aktor intelektual masa itu adalah Nasiruddin Al-Thusi. Seorang yang sangat jenius yang menguasai filsafat, fikih dan teologi di Nisapur. Ia juga dikenal sebagai ahli matematika dan astronom yang cukup tenar. Akan tetapi kecakapannya telah menimbulkan masalah bagi dirinya. Ia dipaksa untuk bekerja selama kurang lebih dua puluh tahun sebagai astrolog di benteng Alamut dibawah dinasti Nizari-Ismailiyah. Akan tetapi kecenderungan intelektualnya semakin bertambah, karena dalam benteng tersebut telah dilengkapi dengan sebuah perpustakaan yang cukup besar. Dan disinilah, dengan kondisi dan situasi tersebut, ia mulai menyusun pandangan-pandangan politiknya. Beberapa karya telah dibuatnya, seperti Akhlaq-i Nasiri¸ Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, dan juga sebuah karya sufi mengenai jalan mistis Jalaluddiin Rumi.
Sebagai seorang intelektual politik, Nasiruddin At Thusi sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Aristoteles, Al Farabi, dan juga tradisi Iran (Syiah) begitu kuat mengakar dalam dirinya. Hal ini menjadikannya sangat memahami teori-teori klasik Yunani tentang masyarakat sosial dan juga permerintahan. Selain itu, sebagai seorang pengikut Syiah, ia sangat dekat dengan tradisi pemikiran Imamiyah, tentang nubuwah, dan keadilan, yang kesemuanya itu akan sangat mempengaruhi dalam pemikiran politiknya. Dua hal tersebut seakan menyatu dalam dirinya dan memunculkan pandangan Filsafat sosial-politik yang unik dan mungkin sangat berpengaruh bagi pemerintahan Syiah dikemudian hari.

A. Biografi Intelektual Nasiruddin At Thusi1
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasam Nasiruddin Al-Tusi, Ia terlahir pada 18 Februari 1201 di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, Persia – sekarang sebelah timurlaut Iran. Dia biasa di kenal dengan sebutan Nasiruddin al-Tusi, meskipun demikian dia juga mempunyai beberapa nama yang berbeda di karenakan kemahsyurannya antara lain Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi dan Khuwaja Nasir. Al-Tusi pun dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, politik, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.*
Sejak usia belia, Tusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan pengetahuan logika, fisika, metafisika dari pamannya Ketika menginjak usia muda, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol dibawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah mempelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan. Karena keahliannya, akhirnya ia ditarik oleh penguasa dinasti Nizari Ismailiyah. Selama mengabdi di istana itu, ia mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232.
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan cucu Jengis Khan pada tahun 1251 akhirnya menguasai istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Nyawa al-Tusi selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuandengan. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan. Bahkan setelah itu ia diangkat sebagai wazir dan pengawas lembaga-lembaga agama untuk pemerintahan Mongol. Karenanya, ia dapat meningkatkan pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran. Bahkan kecenderungan intelektualnya semakin bertambah ketika Hulagu membuatkan sebuah observatorium untuknya. Dia juga menulis buku untuk seorang raja Mongol, yang berjudul Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi tentang nasihat-nasihat keuangan Negara dan administrasi pemerintahan.
Karir ilmu pengetahuan dan sumbangannya terhadap dunia Islam sungguh besar. Ia wafat pada 26 Juni 1274 di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang hingga sekarang.
B. Integralitas Pemikiran Nasiruddin al Tusi
Abad 13 adalah masa kritis pemerintahan “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi kita mengenal, Nasiruddin Al Tusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Dia mempelajari filsafat Yunani dan filsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina dan sebagainya. Dia juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nisapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang berpengaruh.
Ia juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Nizari- Islamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa jadi at Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari Islamiliyah yang berjudul Rawdhah alTaslim atau Tashawurat.2
Dalam pemikiran agama, al Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dengan ibn Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.
Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre Nashat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarha, dan komunitas kota, provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sina, dan bagian III menggunakan pemikiran Al Farabi. (Akhlaq-i Nasiri, hal 187).
Nasiruddin Al Tusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, pada hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk 1). Individu, 2). Keluarga, dan 3). Penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti. Dia menafsirkan Negara atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fukuha dan juga para imam. Sehingga Tusi menganggap syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni. 3
C. Pemikiran Sosial-Politik Nasiruddin Al-Tusi.
Nasiruddin al Tusi adalah seorang pemikir politik yang cukup menarik. Dengan keahliaannya yang sangat komplit, Tusi mampu menyuguhkan sebuah pemikiran idealis tentang politik. Hal ini akan kita lihat ketika Tusi, pertama-tama mengkaji tentang kemanusiaan sebagai tahap awal munculnya politik dalam diri manusia, kemudian Ia juga membahas bagaimana fitrah manusia sebenarnya, dsb. Dan yang kedua adalah tentang masyarakat politik, dia akan menjelaskan elemen-elemen masyarakat politik seperti adanya kerja sama dalam bidang ekonomi, elemen keadilan, dan bahkan elemen cinta. Untuk itulah disini akan kita lihat pemikiran sosio-politiknya yang khas. Kemudian setelah terbentuk masyarakat politik, Tusi juga menjelaskan adanya kelompok masyarakat dengan status yang berbeda berdasarkan kemampuan dan usaha mereka masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles. Dan kesemuanya itu akan sangat jelas dan khas dalam pandangannya tentang Negara aktual yang bercorak Nasihat kepada Raja atau pemimpin, yang mengisyaratkan adanya sebuah “persatuan spiritual” dalam mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.

C.1 Pemikiran tentang Kemanusiaan
Pemikiran politik al Tusi didasarkan atas pandangan tentang kemanusiaan sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi dengan tingkatan lahir yang fana. Ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya pribadinya masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya menjadi tanggung jwab penalarannya sendiri yang merdeka.4
Mengenai kecenderungan moral manusia, al Tusi menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”. (Akhlaq-i Nasiri. hal 210). Dia menyimpulkan bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan; pertama, pengaturan dunia materi oleh akal, melalui seni dan ketrampilan. Kedua, ia membutuhkan pendidikan, disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya diadaptasikan dengan dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktur.
C.2 Pemikiran tentang Masyarakat Politik.
Di dalam menjelaskan tentang adanya kerja sama dan organisasi sosial yang dia sebut dengan masyarakat politik, sebuah masyarakat yang tercipta karena secara fitrah manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai kebebasan dalam berpikir. Disnini Nasiruddin al Tusi membaginya kedalam tiga elemen dasar terciptanya masyarakat politik tersebut;
Elemen yang pertama adalah bidang ekonomi politik, khususnya ketrampilan. Kebutuhan hidup manusia disediakan oleh ‘pengaturan teknik (tadbir al-shna’i) seperti penanaman bibit, panen, membersihkan, menumbuk dan memasak’. Menurutnya, untuk alasan ini Kebijaksanaan Tuhan meniscayakan perbedaan hasrat dan pendapat manusia, sehingga setiap manusia menghasratkan pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang menginginkan pekerjaan mulia, ada yang hina, dan kenyataanya kedua-duanya sama-sama merasa gembira dan puas.
Kemudian yang menarik disini ketika Tusi berpendapat bahwa ketrampilan ini sangat bergantung pada uang. Menurutnya “uang” merupakan sebuah “instrumen keadilan”. Uang adalah hukum yang lebih rendah, mediator yang adil antara manusia dalam berhubungan ekonomi, bahkan dapat dikatakan juga bahwa uang adalah merupakan “keadilan yang diam”. Selain uang, ketrampilan pun bergantung pada oraganisasi sosial. Menurutnya, karena manusia harus bekerja sama, maka spesies manusia pada hakikatnya membutuhkan perpaduan, yakni terbentuknya kehidupan sipil atau tamaddun.5 Karena itu manusia pada dasarnya adalah penduduk kota atau warga Negara.
Selanjutnya yang dibutuhkan sebuah warga Negara adalah suatu manajemen khusus, yaitu Syiasah atau pemerintahan. Pemerintahan dibutuhkan karena pertukaran moneter antar manusia kadang-kadang membutuhkan arbitase. Maka menururtnya elemen kedua dalam masyarakat politik adalah “keadilan”. Dalam hal ini Tusi sangat terpengaruh oleh Plato yang memandang keadilan sebagai inti kebajikan, harmoni keberagamaan. Kemudian ia melanjutkan bahwa keadialan di kalangan manusia tidak dapat dijalankan tanpa tiga hal; perintah Tuhan (numus-I ilahi), seorang pemberi keputusan dii antara manusia (hakim) dan uang. (Akhlaq-i Nasiri hal 97, 190).
Elemen terakhir yang mungkin paling unik adalah penjelasannya tentang asosiasi manusia dengan “cinta”, yang menurutnya memainkan peran lebih sentral dari pada teori sosial Islam yang lainnya. “Cinta” melahirkan kehidupan yang beradap (tamadun) dan persatuan sosial. Baginya cinta merupakan “penghubung semua masyarakat”. Cinta mengalir dari fitrah manusia itu sendiri. (Mungkin ini dambil dari gagasan neo-Platonis). Menurutnya semakin kita tersucikan, semakin kita menjadi subtansi-subtansi sederhana yang mengetahui bahwa “tidak ada perbedaan antara memaknai atau mengabaikan sifat fisik” dan bahkan mencapai “kesatuan batin” melalui cinta satu sama lain. Sebagai contoh, disini Al Tusi memandang umat Islam terdiri atas asosiasi tunggal, sebagaimana pengertian Aristoteles. Sikap saling membantu dan mencintai serta kerja sama membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini secara tidak langsung melahirkan kemanuggalan semua orang pada Manusia Sempurna, sebagaimana diajarkan dalam doktrin Syiah Ismailiyah. Disini dapat kita lihat sepertinya Al Tusi telah berhasil dalam mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dan Syiah secara lebih mendalam
Secara lebih khusus, Al Tusi seperti pemikir muslim lainnya memandang pemerintahan atau syiasah dalam kaitannya dengan perhatian pada karakter dan hak-hak istimewa pemimpin, yang dia sebut sebagai raja (Malik). Dia sangat rinci didalam menjelaskan adanya empat tipe pemerintah dari pemikiran filsafat Aristoteles, yaitu; pemerintahan yang mementingkan keagungan raja, kekuasaan, kemuliaan dan komunitas. Al Tusi hendak mengatakan bahwa keempat aspek itu sama-sama terdapat dalam sebuah pemerintahan; raja adalah sebuah “pemerintahan dari berbagai pemerintahan” yang berfungsi untuk mengorganisasikan ketiga aspek lainnya (Akhlaq-i Nasiri hal. 191).
Disini al Tusi tampaknya mengaitkan pandangannya dengan pemerintahan yang bernuansa keagamaan. Pemerintahan umat berurusan dengan peraturan-peraturan keagamaan dan dengan keputusan-keputusan intlektual. Walaupun Tusi barangkali merujuk pada “pemerintahan oleh rakyat untuk kebaikan bersama (politea), ia tidak menfsirkannya dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat, sebagaimana demokrasi. Namun, menurutnya pemerintahan seperti itu harus dipimpin oleh seorang istimewa yang ditunjuk oleh Tuhan dan agar rakyat mengikutinya. Dimana menurut pandanganYunani kuno disebut sebagai “pemilik Hukum” dan kaum Muslim menyebutnya dengan Syariat. Disini dia menjadi sedikit berbeda dengan Al Farabi, dan menganggap bahwa pemerintahan “oleh rakyat” adalah bentuk pemerintahan yang baik. Dan mungkin kalau ditarik lebih jauh lagi pada masa sekarang, konsep sederhana Tusi tentang pemerintahannya ini sebagai awal perkembangan Syiah Imamiyah dan bahkan yang melahirkan Republik Islam yang pertama di Iran oleh Imam Khomeini.
C.3 Terciptanya Kelompok-kelompok Politik.
Sebagaimana Al Farabi yang mencoba mengklasifikaskan manusia berdasarkan pembagian kerja dan kecenderungan individu dalam pemenuhan kebutuhannya, Nasiruddin al Tusi juga membagi komunitas manusia kedalam ; 1) keluarga, 2) Kedaerahan, 3) kota, 4) Komunitas besar, umam-I kabir, sebuah bangsa, dan 5) penduduk dunia. Yang menjadi menarik disini adalah bagaimana menghubungkan komunitas-komunitas tersebut? Al Tusi mengajukan sebuah pengajaran filsafat yang tercipta pada konsep tentang kepemimpinan (rais). Walaupun setiap kelompok mempunyai pemimpin masing-masing, kepala keluarga adalah bawahan dari kepala daerah, dan seterusnya, dan semuanya merupakan bawahan dari pemimpin dunia, sang pemimpin Mutlak bagi kehidupan politik manusia. Kelangsungan dan kesempurnaan setiap individu sangat tergantung pada komunitas yang terakhir ini (Akhlaq-i Nasiri hal 155) 6
Komunitas universal ini kemudian bergantung pada ilmu politik (hikmat-i al-madani) “kecakapan tertinggi” yang mengungguli seluruh kecakapan lainnya, yang menjadi “kajian hukum universal / Qawanin, yang menghasilkan manfaat terbaik bagi mayoritas, karena mereka diarahkan, melalui kerjasama, menuju kesempurnaan sejati. (Akhlaq-i Nasiri hal 192). Menurutnya pengetahuan tertinggi mengenai hikmah merupakan fondasi keteraturan sosial.
Lebih rinci lagi, dan mungkin ini yang membedakannya dengan Al Farabi tentang pembagian kelas sosial, nampak Al Tusi sangat kontekstual terutama pada wilayah hidupnya, yaitu khas Iran-Islam. Pengelompokan itu meliputi; 1). “ahli pena” yaitu orang-orang yang pakar dalam ilmu pengetahuan, yang meliputi fikih, dokter, penyair, ahli geometri, astronom, dimana keberadaan dunia sangat bergantung kepadanya. 2). “ahli pedang” yaitu para tentara dan prajurit. 3). “ahli bisnis” termasuk diantaranya para pedagang, pekerja terampil, dll. Dan 4). Petani.7
Disini kita melihat bahwa tujuan dari ilmu politik adalah menciptakan keseimbangan diantara berbagai lapisan komunitas baik secara vertikal maupun horisontal. Sebuah keadilan yang tercipta antara pemimpin utama, dibawahnya, dan seterusnya, dan juga keadilan dalam suatu lapisan masyarakat. Dari tujuan ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah mempelajari ilmu politik itu diharuskan pada setiap orang? Itu juga yang menjadi pertanyaan Al Tusi. Mungkin disini saya setuju dengan Antony Black yang berpendapat bahwa disinilah muncul sebuah sentiment egalitarian, yang mungkin lebih dekat dengan ilmu agama Sunni dari pada Syiah. Dimana sejauh pembacaan saya terhadap pemikiran politik Tusi, mengisyaratkan akan adanya pembelajaran tentang ilmu politik bagi semua orang. Akan tetapi bagaimanapun juga, tujuan politik adalah kebajikan, dan bahwa setiap orang harus belajar untuk mencapai kesempurnaan ini. 8
Kemudian yang menjadi menarik disini ketika al Tusi yang menyebut asosiasi seluruh dunia dibawah “pimpinan imam”, sebagai “Kota Utama”. Selain hal ini mirip dengan konteks pemikiran Al Farabi, hal ini mengisyaratkan adanya pandangannya tentang komunitas Syiah (mungkin imamiyah) sebagai kota Utama yang ia maksudkan. Menurutnya, Kota Utama digambarkan sebagai komunitas orang-orang yang selaras dalam pandangan dan perbuatan, sebuah komunitas spiritual yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Penduduk Kota Utama, kendati beragam di seluruh dunia, namun dalam realitas mereka saling bersepakat…dan dalam jalinan kasih saying sehingga keseluruhan mereka tampak satu orang. (Akhlaq-i Nasiri hal. 215).
Sebagai wujud dari kekhasan teori sosio-politiknya, Al Tusi mencoba membahas lebih dalam tentang sebuah Negara aktual yang dipimpin oleh seorang raja “agung” (Badshah) dalam wacana bergaya Nasihat kepada Raja. Mungkin bahasan ini hampir sama dengan bahasan mengenai Kota Ideal, tetapi ini berbeda dalam hal cara pencapaiannya. Menurut Al Tusi, jika kerajaan ingin mencapai kesuksesan, maka ia harus mempunyai “persatuan spiritual”. Pandangan ini sangat jelas terlihat dalam konsepnya tentang elemen cinta, bahwa sesungguhnya ketika seluruh penduduk sudah menyadari akan kesatuan mereka sebagaimana satu tubuh, maka kerja sama dan saling tolong menolong akan tercipta dengan sendirinya. Semua ini ia ibaratkan bagai kerjasama organ dalam tubuh manusia. Tingkat persatuan spiritual semacam itu menentukan kemajuan dan kemunduran Negara.
Di Negara-negara aktual, kewajiban pemimpin adalah memikirkan keadaan rakyatnya dan mengabdikan dirinya untuk menjaga keadilan. Artinya secara khusus tugas kepala Negara adalah menjaga keseimbangan antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga pemimpin harus menghindarkan dari dominasi antar kelompok. Maka secara tidak langsung disini jelas terlihat pemikiran sosio politik Nasruddin Al Tusi ketika menjadikan status, atau kelas sebagai perhatian utama pemerintah. Dalam pemikirannya, status dan divisi kerja memiliki kedudukan yang tidak pernah diungkapkan oleh para pemikir pra modern lain, atau bahkan para pemikir sebelum Durkheim. Inilah mengapa saya menyebutnya sebagai seorang filsuf dan pemikir Sosio-Politik yang sangat idealis dan unik.

D. Kesimpulan
Nasiruddin Al Tusi adalah seorang filsuf yang komplit, dia menguasai ilmu pengetahuan di berbaga bidang, dia adalah seorang fakih, astronom dan astrolog, ahli matematika, dan tentunya menguasai bidang politik. Sebagaimana kita ketahui bahwa dia hidup dalam masa peralihan kekuasaan antara Ismailiyah Nazari menuju dinasti Mongol, yang nantinya menjadi Dinasti Ilkhan Islam. Hal ini secara tidak langsung sangat mempengaruhi pemikiran politiknya. Kalau boleh dibilang, Al Tusi adalah seorang yang berdamai dengan pemerintahan yang ada, khususnya yang cenderung pada pandangan Syiah, terutama Imamiyah. Walaupun terkesan seorang praktisi, tetapi kemampuannya di dalam segala hal, termasuk pemerintahan tidak diragukan laggi.
Kecenderungan akan pandangan-pandangan Syiah lebih berkembang pada masa Dinasti Mongol, karena kecakapan mereka dalam pemerintahan. Hal ini menjadikannya sebagai seorang pemikir politik idealis yang telah berhasil mensintesiskan pandangan banyak pemikir sebelumnya, seperti Aristoteles, Neo-Platonis, Al Farabi dan juga Ibn Sina. Pemikiran Politiknya menjadi sangat kompleks, ketika dia mengintegralkan pandangan fikih, teologi dan filsafatnya dalam sebuah teori politik yang unik. Mungkin kalau dilihat sepintas pemikiran politiknya adalah idealis untuk masa sekarang, atau mungkin pada waktu itu. Inilah mungkin yang menjadi ciri khas seorang filsuf sebagaimana Al Farabi, dan berbeda dengan para pemikir praktis politis seperti Al Mawardi.
Dilihat dari pengaruhnya, pemikiran Nasruddin Al Tusi secara umum telah mendapatkan tempat di hati umat Islam, khususnya para pemikir politik terutama di Persia dan Turki. Kalau dapat ditarik pada masa sekarang pemikiran politik Tusi dapat kita lihat adanya hubungan penting antara Eropa-Asia pra Mongol dan kultur birokratis Negara-negara modern awal yang sangat rumit. Nasiruddin Al Tusi mentransmisikan unsur-unsur filsafat politik Islam klasik ke dunia modern awal. Sehingga walaupun terkesan sebagai pemikran politik idealis, pengaruh Al Tusi sangat besar di hati para pemikir modern Syiah khususnya, di Iran. Hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut, ketika saya ingin mengatakan bahwa Negara Republik Islam Iran adalah sebuah hasil sintesis pemikiran para aktor revolusi dalam menciptakan Negara tersebut, terutama Imam Khomeini. Atau paling tidak disini saya ingin mengatakan bahwa pengaruh itu telah ada pada diri Imam Khomeini dalam pandangannya tentang Republik Islam Iran.


BIBLIOGRAFI
1. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. Serambi. Jakarta: 2006
2. Lambton Ann K. S., State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of Islamic Political Theory The Jurist, Oxford University Press, 1985
3. Rosenthal E.I.J., Political Thought in Medieval Islam: An Introduction Outline, Cambride University Press, 1962
4. Nasr, Sayyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Islamic Texts Society. Cambridge: 2004
5. www.republika.co.id/berita/41400 tanggal 25 Maret 2009
6. www.wikipedia.com.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda