damaiduniaku

kedamaian akan menunjukkan dirinya pada dunia..... Sambut dan berdamailah dengannya....

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, Jakarta, Indonesia

Seorang Anak Manusia yang mencari jati dirinya...

Senin, 07 September 2009

Pendekatan Feminis dalam Studi Agama
by: Abduh Muhammad

Pendahuluan
“Gender” menjadi sebuah istilah yang sangat populer akhir-akhir ini. Berbagai pemaknaan telah diperbincangkan dari warung kopi sampai warung politik. Seakan “Gender” menjadi sebuah istilah yang memunculkan decak keingintahuan orang terhadapnya. Bahkan tidak sedikit orang yang sengaja meneliti dan merumuskannya kedalam sebuah ilmu pengetahuan yang sistematis. Padanan kata ataupun istilah yang mengarah pada perbincangan ini adalah feminisme. Feminisme menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan gejala sosial dalam masyarakat, tidak hanya dalam tataran teoritis terhadap pemaknaannya, tetapi juga dalam ke-sentimen-an praktis dan fanatis masyarakat terhadap paham ini.
Pemaknaan dan penyusunan persoalan feminispun berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan manusia. Sebagai fenomena sosial dan bahkan essensial, feminisme menjadi sangat erat dengan berbagai pandangan lainnya yang sebelumnya sudah dikenal baik oleh masyarakat, seperti antropologi, sosiologi, dan filsafat, bahkan dengan ranah spiritual seperti agama. Dalam perkembangan selanjutnya, “feminis” tidak hanya menjadi objek perbincangan (penelitian), tetapi feminisme dengan segala potensialitas dan keunikannya mampu menjadi sebuah cara pendekatan baru terhadap berbagai ilmu lainnya. Ini tentu tidak terlepas dari bagaimana seorang ahli mendeskripsikan dan menjelaskan relasinya dengan berbagai ilmu atau fenomena yang ada di dalam masyarakat. Itu dapat kita tinjau, ketika feminis berbicara di depan ilmu sosiologi, filsafat, psikologi, termasuk agama. Bahkan ia berusaha melihat mereka dari kacamata feminis sendiri, dan itulah yang kita maksud dengan pendekatan feminis atau perspektif gender.
Dan pendekatan feminis inilah yang berusaha saya kupas dalam makalah singkat ini. Walaupun langkah awal penyusunan makalah ini adalah resume dari sebuah buku Petter Cornoly, tetapi saya akan berusaha untuk memberikan perspektif saya dalam melihat persoalan ini. Untuk itu ini akan terlihat sebagai sebuah paper dari pada hanya sekedar resume buku. Dan akhirnya kita dapat menemukan sebuah perspektif pendekatan baru yang bisa diterima.

A. Pencarian makna Pendekatan Feminisme
Pendekatan feminis dalam studi agama, merupakan sebuah upaya transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai pisau kategori analisisnya. Feminis dan studi agama menurut para feminis religius, seperti Anne Carr yang meyakini bahwa keduanya sangat signifikan dan terkait untuk diangkat menjadi sebuah wacana dan pengetahuan baru. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam. Dan tugas utama feminis adalah mengindentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dengan pandangan keagamaan terhadap, kedirian, dan bagaimana menjalin hubungan baik antara keduanya.1
Dalam pemaknaan diatas, Sue Morgan, misalnya menggunakn istilah “Transformasi Kritis” dalam mengindikasikan dua aspek pendekatan feminis. Dimensi “kritis” ini menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik keagamaan yang lebih melegitimasi superioritas laki-laki dalam setiap bidang sosial. Kemudian aspek “transformatif” meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengkokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan.
Jika kita lihat lebih jauh dalam perkembangannya, feminisme dengan pengikut yang berbeda latar filosofinya, pastilah berbeda dan mempunyai fanstisme masing-masing. Misalanya dapat kita lihat, adanya Feminis Radikal yang berkembang di Inggris dan USA yang sangat kritis dan keras dalam melihat ketidak-adilan dalam agama, terutama dalam kasus ini terjadi pada agama Kristen, sehingga mereka juga disebut dengan Post-Kristen atau Postpatriarkal, karena mereka berusaha untuk menolak adanya intitusionalis agama dan bahkan mereka mengarah pada spiritualitas yang berpusat kepada perempuan. 2
Menurut Soe Morgan “Feminisme bukanlah merupakan fenomena tunggal atau monolitik melainkan mencakup spektrum perspektif politis atau ideologis yang luas” 3 Oleh karenanya kita harus memulai pendefinisian feminisme yang lebih inklusif dan luas, sehingga tidak terjadi benturan yang justru merusak. Disini David Bouchier mendiskripsikan feminisme dalam bentuk perlawanan terhadap diskriminasi sosial, personal atau ekonomi dimana perempuan sering menjadi objek penderita, dan hal itu karena perbedan jenis kelamin, mereka wanita. 4
Sehingga menarik disini, dari pendefinisian diatas, dapat kita lihat adanya kelonggaran dan kemungkinan laki-laki sebagai partner simpatik dalam persoalan feminis. Sehingga seorang feminis tidak selamanya harus perempuan. Dan sebaliknya, masih banyak perempuan yang dengan alasan-alasan apologetik justru setuju dengan konsep patriarki, yang sebenarnya menjadi musuh bersama dan kritik para feminisme. Patriarki adalah sebuah wujud sistem kekuatan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terintitusionalisasikan dalam kebudayaan masyarakat. Menurut feminis, Sekisme juga menjadi ideologi patriarki yang memojokkan perempuan pada isu-isu seks dan gender. Dimana seks mengacu pada sifat yang terberi secara biologis, sedangkan Gender adalah persepsi dan harapan-harapan kebudayaan tentang apa yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan.

B. Perkembangan Pendekatan Feminis.
Walaupun baru dikenal dan didengungkan sekarang, sebenarnya usaha yang mengarah kepada persoalan wanita dalam agama sudah dimualai sejak seabad yang lalu. Dalam meneliti respon feminis terhadap agama, sejarawan Olive Banks menyatakan bahwa kesempatan yang diperoleh perempuan dalam wilayah keagamaan sering didukung oleh suatu kesadaran yang dipolitisasi secara eksplisit. Ini terjadi dalam beberapa kasus feminisme Anglikan di Amerika dan Inggris dalam usahanya di parlementer dan membentuk gerakan perempuan Gereja..
Sebagai contoh, misalnya ketika Agama merupakan faktor yang kuat dalam membentuk dan mengarahkan feminisme Amerika. Kuatnya ideologis antara gerakan perempuan dan kampanye penghapusan perbudakan telah membawa kepada semangat reformasi. Inilah yang dikenal dengan semangat Evangelis yang mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuann yang mendasarkan pada definisi tradisional feminis, memuji bakat perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungan untuk mementingkan orang lain sebagai kualitas moral yang patut dicontoh. Kemudian gerakan ini teraplikasikan dalam sebuah wadah politik yang disebut Quaker di Senca yang telah menghasilkan konvensi 1884 dan resolusi final deklarasi hak-hak perempuan dalam mimbar keagamaan, perdagangan, profesi dan politik.
Berdasarkan semangat dan corak perjuangan feminisme, dapat saya bagi kedalam dua gerakan besar. Yaitu ; Feminisme Radikal dan Feminisme Liberal. Mungkin perjuangan mereka sudah dimulai sejak abad 19 dengan keterlibatan mereka dalam agama. Akan tetapi penamaan ini tentu menjadi “bias” oleh pandangan di luar mereka, atau sangat kecil kemungkinan klaim dari mereka sendiri. Istilah-istilah ini muncul berdasarkan pengamatan-pengamatan seseorang yang melihat mereka dari ciri-ciri, motifasi dan model gerakan mereka dalam memperjuangkan peran wanita dalam agama.
Misalnya saya ambil contoh, Feminisme Liberal, yang menentang ideal-ideal Injil tentang subordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. Pada tahun 1890 teoritisi Liberal Amerika, Elizabeth Cady dan Matilda J Gage mengkritik keras sistem patriarki dalam gereja. Akan tetapi mereka tetap seorang yang religius. Bahkan mereka beranggapan bahwa perempuan merupakan juga diciptakan dari image ketuhanan dan meniscayakan adanya representasi simbolik yang sama dengan laki-laki. Salah satu buku terkenalnya adalah “The Woman Bible’ yang berusaha mengkritik dan membongkar watak androsentrisme atau keterpusatan pada laki-laki dari tafsir tekstual yang ada.
Sebagian feminis abad 19 membangun analisis yang mereka tawarkan berdasar mainstream perempuan, sehingga hal ini mendorong memunculkannya persoalan-persoalan pada gelombang feminisme berikutnya, pada tahun 1960 dan1970. Analisis pertama adalah bahwa feminis tidak hanya mendokumentasikan sumber-sumber agama yang memiliki persepsi distorsif terhadap perempuan, tetapi juga berusaha mengemukakan alasan-alasannya. Misalnya menurut mereka, kesalahan itu trerjadi dalam doktrin teologis dan pemaknaan antropologis keagamaan. Ini tidak lain dari dimunculkannya sebuah pencitraan negatif terhadap perempuan, sebagai sosok penggoda, tabu, berbahaya, jahat, dsb.
Kemudian pada analisis selanjutnya adalah kemampuannya yang konsisten untuk mencakup wilayah respon yang lebih luas. Ini dimulai dengan penyingkapan rahasia patriarki dalam sebuah agama yang membangkitkan berbagai strategi dalam menghadapi permasalahan yang lebih rumit. Dalam gerakan awal ini dipandang sebagai Feminisme Radikal, karena mendobrak patriarki yang sudah mapan dalam keagamaan, akan tetapi ternyata gerakan ini mengarah pada semangat pembaharuan yang reformis. Feminisme Reformis mengkontruksi gerakan meraka dengan menerima tradisi keagamaan, cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki perempuan dalam kerangka kerja pembebasan perempuan yang lebih luas. Sedangkan feminisme radikal menekankan pembedaan esensial anytara jenis kelamin, menyerukan pada penemuan kembali prinsip feminin sebagi akhir dominasi patriarkal.
Misalanya dalam karya Mary Daly “Beyond God the Father” (1973) dia mengemukakan kritik kepada agama Kristen bahwa Kristen adalah agama yang memberhalakan laki-laki, dengan adanya simbolisme Tuhan Ayah, dan Kristus yang laki-laki yang menghambat perkembangan spiritualitas kaum perempuan. Di sini Daly menawarkan solusi dengan melakukan perombakan simbolisme dalam suatu pembalikan dramatis atau meninggalkan semuanya. Inilah semangat-semangat kaum feminis yang datang dari agama itu sendiri yang kemudian disebut dengan feminisme religius yang mencoba memahami perbedaan-perbedaan ideologis dan institusional.
Salah seorang feminis religius lainnya, Valerie Saving dalam The Human Situation; A Feminine View berusaha menuntut reformulasi definisi teologi tradisional tentang dosa dan kecenderungan kaum perempuan pada keterbelakangan dan penafian diri. Dari kritikannya ini, memiliki pengaruh yang cukup kuat ketika terori feminisme melihat adanya subjektifitas dalam kesarjanaan teologi dan keagamaan yang secara langsung dipengaruhi oleh identitas gender. Feminis menyadari bahwa generasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi andosentris lebih sering menunjukkan suatu persoalan tentang pengabaian perempuan secara terus terang dari pada permusuhan palsu, meskipun hasilnya sama. Disinilah sebuah pencitraan historis bermain, dimana secara sistematis dikeluarkan dari kerangka kerja kultur dalam penciptaan makna dan keyakinan.
Secara sederhana, corak perkembangan ini dibagi kedalam dua fase. Fase pertama dapat disebut sebagai dimensi kritis dekonstruktif dalam pendekatan feminis terhadap agama. Ini ditandai dengan kemunculan teologi feminin, yang memunculkan pandangan-pandangan mereka mengenai kesalahan doktrin keagamaan yang cenderung berpihak pada lelaki, misalnya penggunaan term umum laki-laki tidak menunjukkan bahwa mereka lebih superior dan sempurna dari pada perempuan. Dan fase kedua adalah fase transformatif, dimana feminis berusaha menerapkan hasil usaha kritis nya ke dalam ranah kehidupan nyata. Sehingga Feminis mampu mentransformasikan teori-teorinya dalam menjawab ideology patriarki dalam masyarakat dan meletakkan perspektif feminisme yang lebih tepat.

C. Karakteristik Dasar Pendekatan Feminis
Setelah kita menemukan makna pendekatan feminisme dalam melihat agama, perlu disini untuk menelusuri dan menemukan karakteristiknya. Karakter tersebut akan kita temukan dari berbagai cara dan pendekatan para feminis dalam melihat setiap fenomena agama, teks suci, sejarah, maupun kajian bahasa. Pandangan-pandangan kritis tentang tugas feminis awal membawa pada tahap rekonstruksi komprehensi terhadap kategori-kategori utama pemikiran keagamaan. Pertumbuhan dan derivikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber teori baru dan digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model androsentris sebelumnya dengan mengistimewakan pengalaman perempuan.
Adanya pembacaan dan pemahaman ganda pada terhadap konsep keagamaan dan apresiasi terhadap suatu watak metaforis bahasa teologis. Misalnya feminisme Religius yang berusaha menyesuaikan simbol-simbol Tuhan dengan mengusulkan rangkaian image-image yang beragam dan inklusif yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender. Dikatakan bahwa seksualitas metafor perempuan tentang Tuhan sering tidak menyenangkan bagi mereka yang benar-benar mengetahui teolog Barat.
Salah satu aspek ketuhanan feminisme paling signifikan yang diselamatkan feminis adalah personifikasi perempuan tentang kearifan Tuhan. Gambaran ini lazim ditemukan dalam banyak agama, misalnya image-image tentang Shekinah di Kabbalisme Yahudi, Prajnaparamitha pada Budha Mahayana, dan Holly Spirit pada Kristen. Meskipun banayak yang menganggap bahwa elemen ketuhanan perempuan itu merupakan konsep yang memberi inspirasi bagi perempuan kontemporer, sebagian lainnya memperlihatkan kehati-hatiannya dalam identifikasi tersebut. Misalnya pendapat Plaskow tentang penggambaran ulang Tuhan laki-laki transenden ke dalam bentuk feminin lewat pemikiran mistisisme merupakan koreksi penting, metafor perempuan itu sangat menguntungkan dan kekal ketika berlawanan dengan konteks patriarkis yang asli (Plaslow, Standing Again at Sinai, hlm. 38).
Kemudian adanya upaya feminis dalam pemaknaan terhadap yang suci (sacred) yang tidak hanya berupaya menentang pencitraan androsentrisme dalam pengertian substitusioner atau kontributif murni, melainkan juga mentransformasikan konsep patriarkal pada tingkat akar-akarnya. Misalnya disini Sallie McFague dalam Modes of God: Theloogy for an Ecological Nuclear Age (1987) dia menolak yang transenden, Tuhan patriarki yang hierarkis dan mendukung suatu keutuhan imanen yang terdapat dalam kesejahteraan dunia. Ini dia contohkan dengan model-modelnya tentang Tuhan Ibu, pengasih dan usahanya untuk mengombinsaikan metafor perempuan dan pencitraan non gender yang keduanya menegaskan pengakuanya atas pengalaman perempuan. Untuk mencapai penafsiran yang lebih komprehensif tentang ketuhanan, bahasa Tuhan, feminis bergerak dari dekonstruksi pencitraan perempuan menuju pencitraan perempuan non gender yang mengungkapkan keakraban, persekutuan dan mutualitas antara manusia dan Tuhan.
Reinterpretasi feminis terhadap teks-teks keagamaan juga dipenuhi dengan warisan simbol dan image. Pembacaan terhadap literatur suci dalam agama-agama, tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, melainkan juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretatif yang dengannnya muatannya itu dipahami sebagai hal yang normatif.
Karakteristik pendekatan feminis yang sering terlihat adalah dalam konteks sejarah agama itu sendiri, dimana kalangan feminis telah menemukan kembali sejarah keagamaan perempuan. Menyadari problem-problem yang terdapat dalam upaya penemuan kembali yang lebih memfokuskan pada tokoh perempuan dalam sejarah ketimbang pengalaman perempuan biasa. Dimana mereka berusaha untuk memperbaiki jarak penglihatan historis dengan menujukkan tidak hanya perempuan suci saja tetapi juga perempuan awam religius yang mempunyai peran spiritual dalam konteks historis. Penelitian semacam ini memeperdalam pemahaman tentang praktik-praktik keagamaan dan dalam beberapa hal mendorong pengujian kembali secara serius terhadap kategori-kategori dan konsep-konsep yang diasumsikan secara historis.
Perkembangan teoritis belakangan dalam studi keagamaan perempuan menujukkan bahwa disamping mencari asal status inspirasional seluruh perempuan masa lampau, juga memunculkan pertanyaan mengenai dinamika historis agama, gender dan kekuasaan. Perempuan mungkin tidak pernah menjadi pembentuk formatif yang mula-mula tentang hubungan agama budaya, tetapi ketika menyetujui ideologi-ideologi yang ada baik penolakan maupun kesetujuan telah memunculkan banyak respon.
Dalam beberapa hal ketika feminisme menunjukkan komitmen utama pada perlakuan secara adil terhadap perempuan dan menyerukan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kolaboratif dan egalitarian maka sesungguhnya ini merupakan proyek etis. Etika feminis kembali menyatakan hubungan antara teori dan praktik keagamaan dengan menegaskan bahwa antara refleksi moral privat, dan agen moral public saling terkait secara intrinsik.

D. Analisa terhadap Pendekatan Feminisme.
Pencarian feminis terhadap jalan keluar yang diperoleh kembali melalui bahasa sacred, literatur, dan sejarah telah memungkinkan terjadinya suatu dialog yang saling menguntungkan antara feminisme dan agama. Kedudukan tradisi keagamaan dalam kritik feminis dihargai sejajar dengan kehendak tradisi itu dalam merespon pertanyaan-pertanyaan kontemporer dengan penuh makna. Rekontruksi feminis bahkan tidak hanya berhenti pada refleksi teoritis, tetapi bahkan berusaha memajukan dan terlibat dalam perubahan praktis. Perspektif feminis, semenjak kelahirannya dicirikan dengan identifikasi terbuka terhadap teori dan aksi, mengevaluasi otentitas kebenaran keagamaan dengan melihat kemampuannya dalam mempengaruhi transformasi sosial dan politik.
Sebagai sebuah cara atau pedekatan terhadap agama, sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya, perspektif feminis dihadapkan pada kebutuhan mengukuhkan suatu kerangka kerja teoretis yang solid guna terselenggaranya dialog antar iman dan antarbudaya. Akan tetapi semangat feminisme juga telah memunculkan suara perempuan dari seluruh dunia, dan bagi kalangan akademik feminsme kontemporer juga memunculkan tantangan metodologis terhadap kajian mereka, yang menuntut suau perkembangan konsep analitis kunci untuk menggabungkan pengalaman perempuan yang khas dari setiap tradisi atau pemaknaan agama.
Kebutuhan seluruh feminis untuk mengemukakan konsep teoretis tentang perbedaan dipertajam fokusnya oleh para feminis kontemporer. Perbedaan di sini tidak seperti dirumuskan secara tradisional dengan antagonisme laki-laki-perempuan, tetapi suatu pengakuan terhadap perbedaan yang terdapat di antara perempuan itu sendiri. Perbedaan dalam memaknai pengalaman perempuan menimbulkan persoalan dalam kategori tentang perempuan yang dalam tahap tertentu tidak memungkinkan mengabsolutkan pikiran feminisme itu sendiri. Hal ini mengakibatkan terjadinya sikap kultur imperialistik seperti anti Yahudi pada kalangan Feminis Kristen, atau pengutukan Feminis Barat terhadap perempuan Muslim berjilbab. Memprioritaskan perbedaan sebagai diversitas pengalaman perempuan dari sudut pandang ras, usia, orientasi seksual, agama, etnisitas atau status ekonomis mengharuskan suatu penyesuaian pemahaman kembali terhadap patriarki. Karena perempuan dapat menunjukkan bentuk-bentuk kekhasan budaya.
Persoalam pluralitas budaya dan ras kemudian menghasilkan struktur pengetahuan keagamaan yang sangat subjektif. Semenjak usaha dekonstruksi terhadap androsentrisme-patriarkal, kekuatan feminisme sesungguhnya terletak dalam kerjasamanya dengan konsep postmodern di mana metode penciptaan pengetahuan sama signfikannya dengan muatan aktual pengetahuan itu sendiri. Dekonstruksi terhadap teks-teks dan simbol-simbol patriarkal telah menjadikan feminis religius bersikap waspada terhadap pembatasan-pembatasan penyampaian kebenaran berdasarkan pada gender, namun karena perdebatan tentang perbedaan dapat dimengerti dengan jelas. Sebagai suatu koreksi penyeimbang terhadap studi-studi agama yang berpusat pada laki-laki, analisis feminis selanjutnya dimodifikasi dengan tumbuhnya perhatian kritisisme diri terhadap kelas, ras dan daerah tertentu. Sehingga pada akhirnya feminisme dapat memprioritaskan perbedaan dan menentang karakter monolitik pengalaman perempuan itu sendiri.
Dalam perkembangannya, menurut David Tracy pendekatan feminis modern melambangkan dilema intelektual bagaimana mendamaikan konteks historis, sosial budaya dengan klaim-klaim universal yang disandarkan pada Tuhan. Disamping desakan intelektual pendekatan feminis tetap berupaya mengukuhkan prinsip-prinsip umum transformasi keagamaan yang didasarkan pada tntutan universal atas keadilan dan pembebasan.
Perdebatan selanjutnya muncul dalam feminis religius yang juga sangat terkait dengan persoalan pluralitas etnik dan kebudayaan adalah persoalan separatisme feminsme. Dalam penolakannya terhadap agama tradisional feminis radikal, seperti Mary Daly sebagai tokoh utamanya mendorong perempuan agar melampui batas-batas masyarakat patriarkal dan menciptakan suatu dunia alternatif yang berpusat pada perempuan dan terbebas dari laki-laki. Hal ini tidak tanpa kritik, dimana feminis etis mempertanyakan separatisme dalam feminis religius dan ini menimbulkan masalah baru dimana muncul rasisme dan kegagalan dalam memahami laki-laki dan perbedaan etnis dalam perempuan sendiri.
Dari sudut pandang intelektual, separatisme yang berpusat pada perempuan ditentang oleh kalangan sarjana modern dalam menanggulangi polarisasi identitas perempuan dan laki-laki serta mengusulkan sebuah setrategi yang lebih holistik dengan berfokus pada gender. Hingga akhir ini, analisis gender hampir semata-mata terkait dengan perempuan. Meski demikian, salah satu dari dua tahap kerja yakni dekonstruktif dan rekonstruktif, telah membawa feminis kedalam tahap baru. Dimana mereka berusaha mengkontruksi sistem gender yang lebih inklusif dan mengakui interrelasi antara identitas perempuan dan laki-laki sebagai pusat analitis teoritis. Seperti komentar, Carr “konsep gender mengingatkan kita bahwa pengalaman perempuan telah dan selalu dalam kaitan dengan laki-laki dalam seluruh masyarakat manusia”
Disinilah sebuah pendekatan feminisme dengan perspektif gender yang lebih inklusif dan terbuka mampu melihat dirinya dalam dimensi agama, dan nantinya sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial budayanya. Sehingga feminisme menjadi lebih progresif dan mampu menyambut berbagai pandangan lainnya yang mungkin bersebrangan dan mampu menunjukkan dimensi dan kekhasan dalam mode pendekatan yang ditawarkannya, kritis transformatif.


E. Kesimpulan.
Sebagai sebuah pendekatan yang tergolong baru di dunia keagamaan, tentu feminisme mempunyai kelebihan dan juga kekurangan dalam setiap usahanya mendekati dan memaknai agama ataupun unsur-unsur yang ada di dalamnya. Feminisme sendiri bukanlah sebuah fenomena tuggal tentang konsep perempuan ataupun gender, tetapi dalam perkembangannya feminisme menjelma dalam spektrum yang lebih luas di bidang sosial, politik dan kebudayaan dan tentu juga agama. Feminisme dengan semangat perspektif gender telah melakuakan transformasi kritis terhadap konsep keagamaan.
Studi agama yang dilakukan kaum feminis telah membongkar realitas sekisme dalam setiap kajian keagamaan dan teologis. Dalam suatu rangkaian pendekatan, keahlian dekonstruksi yang diasah feminis telah menundukkan simbolisme keagamaan, bahasa, literatur, sejarah dan doktrin pada penelitian kritis dan holistik. Hal ini diakui atau tidak telah mampu membangunkan kesadaran kaum perempuan yang sebelumnya terlelap dalam dominasi patriarkal keagamaan. Dan akhirnya perempuan mampu menunjukkan perspektifnya dalam agama sekaligus mendapatkan perlakuan yang semestinya dalam agama, yang hal itu sangat berpengaruh dalam peran mereka dalam kehdupan social, politik dan kebudayaan.
Sebagai sebuah teori dan paham yang lebih khusus, Feminis religius mencerminkan sejumlah concern yang secara tipikal didefinsikan sebagai postmodernis, memaksakan kesadaran akan perlunya kajian yang dikondisikan secara sosial dan historis, kritisisme diri, dan perlawanan terhadap dominasi teori-teori besar sebelumnya. Disini menunjukkan bahwa pendekatan feminis tidak berhenti dalam kepuasan, tetapi akan terus mencari dan menjunjung kebenaran dan keadilan dalam kehidupan keagamaan. Karena tantangan tidak hanya datang dari luar tetapi kalangan feminis pun mempunyai perbedaan faham dan kecenderungan yang berbeda,
Sebagai hasilnya pendekatan feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks prulalis kontemporer.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda